Sulit Punya Rumah, Backlog Perumahan Berpotensi Bertambah
Backlog perumahan dikhawatirkan bakal meningkat ke depan.
Fortune Recap
- Pemerintah mengeklaim pengurangan backlog perumahan di Indonesia setiap tahunnya, turun dari 10,51 juta unit pada 2022 menjadi 9,9 juta unit pada 2023.
- Kepala Ekonom PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) Martin Daniel Siyaranamual, menyatakan data backlog perlu disikapi bijaksana dengan alokasi KPR melalui FLPP.
- FLPP yang disalurkan sejak 2010 belum bisa menghilangkan angka backlog pemilikan rumah, dengan kuota penerima bantuan subsidi perumahan tahun ini dipangkas.
Jakarta, FORTUNE – Pemerintah mengeklaim pengurangan kesenjangan antara permintaan dan penawaran perumahan, atau yang biasa disebut backlog, di Indonesia terus berkurang setiap tahunnya.
Berdasarkan informasi yang diambil dari Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, jumlah backlog rumah menurun dari 10,51 juta unit pada 2022 menjadi 9,9 juta unit pada 2023.
Kepala Ekonom PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), Martin Daniel Siyaranamual, menyatakan data backlog perumahan perlu disikapi dengan bijaksana walaupun pemerintah telah mengalokasikan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk ratusan ribu unit rumah subsidi.
"Backlog itu sendiri masih gede. Kalau berdasarkan hitung-hitungan data, itu paling tidak nambahnya antara 120.000 –170.000 per tahunnya," kata Martin dalam konferensi pers di Kantor SMF, Jakarta, Kamis (4/4).
Kendati pembiayaan FLPP sudah disalurkan sejak 2010, Martin mengatakan itu belum bisa menghilangkan angka backlog pemilikan rumah. Terlebih, kuota penerima bantuan subsidi perumahan tahun ini dipangkas.
"Dari 2023 dialokasikan untuk 220.000 unit, sekarang tahun 2024 (pembiayaan FLPP) turun jadi 166.000. Jawabannya jelas. Enggak cukup [untuk memangkas angka backlog]," kata dia.
Menyoroti cara penghitungan BPS
Dia menyoroti metode BPS dalam menghitung angka backlog yang masih mengacu pada indikator rumah tangga, bukan keluarga. Sebab, dia melihat masih banyak keluarga muda yang tetap tinggal bersama orang tua dalam satu atap.
"Backlog yang benar itu menggunakan definisi keluarga. Rumah tangga itu kumpulan dari keluarga. Jadi kalau misalnya saya tinggal di rumah orang tua saya, sedangkan saya sudah berkeluarga dan punya istri dan anak, saya tidak termasuk hitung-hitungannya backlog," katanya.
Dia pun menyimpulkan bahwa bahwa jika satu atap akan semakin banyak dihuni keluarga, maka angka backlog itu akan turun dengan sendirinya.
“Ketika orang di keluarga-keluarga itu mulai keluar dari rumah orang tuanya, ada kemungkinan kenaikan backlog akan terjadi," ujarnya.
Potensi peningkatan backlog kepemilikan rumah
Dengan potensi yang disebutkan, ada risiko bahwa jumlah backlog akan meningkat kembali, terutama ketika generasi muda tidak lagi dapat tinggal bersama orang tuanya, tetapi belum memiliki rumah sendiri.
Martin menekankan bahwa jumlah unit perumahan yang diperlukan untuk mengatasi kekurangan perumahan dalam suatu daerah tidak tergantung pada kondisi perekonomian makro Indonesia. Yang penting untuk ditekankan adalah metode penghitungan backlog itu sendiri.
“Sekarang ini, bouncing back yang saya sampaikan itu sangat berkaitan erat dengan teknikalitas bagaimana menghitung backlog. Saat ini kita menggunakan angka dari BPS. BPS menggunakan angka dari rumah tangga. Backlog harusnya dihitung berdasarkan keluarga," ujarnya.