BASF Hengkang dari Proyek Smelter Nikel US$2,6 Miliar di Weda Bay
Perubahan pasar nikel global jadi pertimbangan BASF.
Fortune Recap
- BASF hengkang dari proyek pemurnian nikel-kobalt di Maluku Utara setelah evaluasi pasar nikel global yang berubah.
- Perusahaan menghentikan semua kegiatan evaluasi dan negosiasi untuk proyek di Weda Bay, namun tetap fokus pada pasokan bahan baku kritis.
- Kementerian Investasi/BKPM menegaskan bahwa pembatalan investasi BASF tidak mempengaruhi minat investor asing untuk menanamkan modal pada sektor hilirisasi di Indonesia.
Jakarta, FORTUNE - BASF, perusahaan pemasok bahan katoda aktif canggih asal Jerman, memutuskan untuk hengkang dari proyek pemurnian Nikel-kobalt (Sonic Bay) di Kawasan Industri Teluk Weda, Maluku Utara.
Dalam keterangan media yang dimuat pada laman resminya, Senin (24/6), BASF mengumumkan bahwa perusahaan tidak akan melanjutkan evaluasi potensi investasi dalam proyek yang telah dimulai bersama Eramet—grup pertambangan dan metalurgi global—pada 2020 tersebut.
“Setelah evaluasi yang cermat, kami menyimpulkan bahwa kami tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay," demikian jelas Anup Kothari, Anggota Dewan Eksekutif Direktur BASF SE, dikutip Fortune Indonesia, Kamis (27/6).
Sejak proyek ini dimulai, BASF menilai pasar nikel global telah berubah secara signifikan. Ini terutama lantaran opsi pasokan untuk ketersediaan nikel grade baterai BASF telah berkembang.
"Akibatnya, BASF tidak lagi melihat perlunya investasi besar untuk memastikan pasokan logam yang tangguh untuk bisnis bahan baterai kami," ujarnya.
Perusahaan juga telah memutuskan akan menghentikan semua kegiatan evaluasi dan negosiasi yang sedang berlangsung untuk proyek di Weda Bay. Kendati demikian, Daniel Schönfelder, Presiden divisi Katalis BASF, menyampaikan bahwa pasokan bahan baku kritis yang aman, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk produksi material prekursor katoda aktif, yang mungkin juga berasal dari Indonesia, tetap penting untuk pengembangan masa depan perusahaan.
Karena itu, BASF mengoperasikan tim pengadaan khusus yang berfokus pada perdagangan serta manajemen logam dan prekursor, sekaligus telah mengembangkan jaringan mitra yang kuat untuk memastikan pasokan bahan baku kritis yang diperlukan dalam bisnis bahan katoda aktif global yang terus berkembang.
Menanggapi pernyataan BASF mengenai pembatalan rencana investasi Proyek Sonic Bay, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menegaskan bahwa pemerintah telah mengetahui keputusan tersebut, dan langkah tersebut tidak menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya pada sektor hilirisasi di Indonesia.
Sebelumnya, BASF dan Eramet telah memiliki legalitas usaha atas nama PT Eramet Halmahera Nikel (PT EHN) untuk mengembangkan proyek Sonic Bay senilai US$2,6 miliar di Kawasan Industri Teluk Weda. Proyek ini berupa pembangunan pabrik pemurnian nikel dengan teknologi high pressure acid leach (HPAL) yang menghasilkan mixed hydroxide precipitates (MHP).
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan, mengatakan keputusan BASF dan Eramet untuk membatalkan investasinya adalah keputusan bisnis yang diperoleh setelah melakukan berbagai evaluasi.
”Kami dari awal terus mengawal rencana investasi ini. Namun, pada perjalanannya perusahaan beralih fokus, sehingga pada akhirnya mengeluarkan keputusan bisnis membatalkan rencana investasi proyek Sonic Bay ini,” ujar Nurul dalam keterangan resminya, dikutip Kamis (27/6).
Ia juga mahfum dengan keputusan BASF dan Eramet untuk tidak meneruskan rencana investasi dengan pertimbangan perubahan kondisi pasar nikel yang signifikan—khususnya pada pilihan nikel yang menjadi suplai bahan baku baterai kendaraan listrik.
”Kami melihat hilirisasi untuk ekosistem baterai kendaraan listrik masih sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Apalagi, baru-baru saja Indonesia mendapat peringkat 27 pada World Competitiveness Ranking (WCR) 2024. Top 3 terbaik di wilayah ASEAN,” kata Nurul.
Dia juga menegaskan bahwa minat investor asing pada sektor hilirisasi tetap tinggi. Bahkan, beberapa proyek investasi pada sektor tersebut telah mencapai tahap realisasi. Sebagai contoh, proyek smelter tembaga terbesar di dunia milik PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur, resmi beroperasi mulai 27 Juni 2024.
Bukti nyata lainnya, produksi massal baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia akan dimulai oleh PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power di Karawang, Jawa Barat pada Juli 2024 dan akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.