Pertamina Catat Laba Bersih Rp41 Triliun per Oktober 2024
EBITDA Pertamina capai US$9,35 miliar.
Fortune Recap
- Wiko optimistis Pertamina mampu mencapai pendapatan setara tahun lalu, meskipun menghadapi tekanan bisnis midstream dan penurunan pendapatan akibat harga minyak dunia.
- Pertamina berfokus pada efisiensi, ketahanan energi nasional, produksi migas, distribusi energi merata di Indonesia, serta digitalisasi sistem dari hulu ke hilir.
Jakarta, FORTUNE - PT Pertamina (Persero) mencatatkan laba bersih US$2,66 miliar atau setara Rp41,43 triliun (kurs Rp15.935/US$) hingga akhir kuartal III-2024. Kinerja tersebut didukung oleh pendapatan yang mencapai US$62,5 miliar, sementara EBITDA perseroan mencapai US$9,35 miliar.
Wakil Direktur Utama Pertamina, Wiko Migantoro, optimistis bahwa pada akhir tahun ini Pertamina mampu membukukan pendapatan yang setara dengan tahun lalu, yakni tidak kurang dari US$75,8 miliar atau setara Rp1,2 kuadriliun.
“Kami perlu menjelaskan bahwa pada 2024 ini kami menghadapi situasi yang memberikan tekanan besar pada bisnis midstream, khususnya di kilang. Hal serupa juga dialami oleh banyak kilang di seluruh dunia yang harus berjuang menjalankan operasionalnya,” ujar Wiko dalam rapat dengar pendapat Pertamina dengan Komisi VI DPR, Selasa (3/12).
Pada 2022, Pertamina mencatatkan laba bersih US$3,81 miliar dengan total pendapatan US$84,9 miliar. Namun, pada tahun berikutnya, meskipun laba bersih meningkat menjadi US$4,4 miliar, pendapatan justru menurun menjadi US$75,8 miliar.
Menurut Wiko, penurunan pendapatan ini disebabkan oleh turunnya harga minyak dunia yang memberikan tekanan pada sektor bisnis hulu. Sebagai langkah antisipasi, mantan Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE) tersebut menjelaskan bahwa perusahaan berupaya memaksimalkan pendapatan dari sektor hilir.
Selama tiga tahun terakhir, ia menegaskan bahwa kinerja keuangan BUMN minyak dan gas ini tetap menunjukkan tren positif. Namun, ia juga mengakui bahwa bisnis hidrokarbon saat ini sangat dipengaruhi oleh volatilitas, termasuk faktor geopolitik, keseimbangan supply-demand, serta disrupsi teknologi.
Karena itu, kata Wiko, Pertamina terus melakukan efisiensi. Pada tahun ini, perseroan mengoptimalisasi biaya hingga US$780 juta, yang terdiri dari penghematan biaya, cost avoidance, dan revenue generation.
“Tentu saja, ini sesuai dengan semangat holding dan subholding,” kata Wiko.
Ia juga mengatakan bahwa Pertamina berkomitmen menjaga ketahanan energi nasional sekaligus memberikan kontribusi kepada negara dan manfaat bagi masyarakat Indonesia.
“Bisnis Pertamina terintegrasi dari hulu ke hilir dengan fokus memastikan ketersediaan energi nasional,” ujar Wiko.
Dalam upaya mewujudkan ketahanan energi nasional, tambah Wiko, Pertamina terus meningkatkan produksi migas. Pada periode 2020–2023, produksi minyak dan gas Pertamina tumbuh 7 persen per tahun.
“Secara nasional, Pertamina berkontribusi sebesar 69 persen untuk minyak dan 34 persen untuk gas dari sektor hulu migas,” kata Wiko.
Demi memastikan distribusi energi dari sektor hulu ke seluruh wilayah Indonesia, Pertamina memiliki Subholding Gas dan Subholding Commercial & Trading. Subholding Gas Pertamina mengoperasikan jaringan pipa transmisi sepanjang 5.900 km dan pipa distribusi sepanjang 27.000 km. Sementara itu, Subholding Commercial & Trading memiliki jaringan BBM yang mencapai 15.000 titik penjualan ritel (retail points).
“Distribusi energi yang merata ke seluruh Indonesia juga didukung oleh Subholding Integrated Marine Logistics, yang memperkuat rantai suplai dari hulu hingga ke konsumen,” ujar Wiko.
Wiko juga mengatakan bahwa Pertamina telah menerapkan sistem digital secara menyeluruh dari hulu ke hilir. Hingga saat ini, digitalisasi penyaluran solar telah mencapai 100 persen, sementara proses digitalisasi untuk Pertalite dan LPG masih terus berjalan. Dengan digitalisasi, penyaluran subsidi energi menjadi lebih tepat sasaran.