Saat Bos Starbucks Bicara Persaingan dengan Brand Kopi Lokal
Ada Fore, Tomoro, Janji Jiwa hingga Kopi Kenangan.
Jakarta, FORTUNE – Tak hanya aksi Boikot di berbagai daerah telah menekan penjualannya selama beberapa bulan terakhir, Starbucks juga harus menghadapi tantangan lain. Kemunculan beberapa jenama kopi lokal membuat persaingan semakin ketat.
Sebagai pemegang jenama Starbucks di Indonesia, Chief Executive Officer PT Sari Coffee Indonesia (SCI), Anthony McEvoy pun memantau kondisi pasar. Sementara Starbucks telah membuka 590 gerai di 60 kota, sejumlah jenama lain telah melampauinya.
“Seperti kita tahu, Fore sudah mulai membuka gerai di negara tetangga, Tomoro juga bertumbuh,” ujarnya, dalam dalam acara media gathering di Starbucks Land's End, Pantai Indah Kapuk 2, Jumat (17/5). Ia melanjutkan, “Dalam 2-3 tahun terakhir, Janji Jiwa punya sekitar 1.000 gerai, Kopi Kenangan punya sekitar 800 gerai.”
Toh, ia juga percaya bahwa kopi, seperti juga berbagai produk lain, memiliki segmen pasar yang berbeda. “Ambil contoh gerai ini, ukurannya cukup besar, perabotnya baru, lengkap dengan pendingin ruangan hingga wifi yang kencang. Gerai seperti ini membutuhkan Investasi yang tidak sedikit. Kami punya proposisi yang berbeda dengan pesaing,” tuturnya.
Bagaimanapun, Anthony memandang persaingan sebagai hal yang positif dalam bisnis. Sebab, persaingan yang sehat akan memaksa setiap pelaku usaha memberikan yang terbaik.
Pada akhirnya, konsumen akan menjadi pihak yang diuntungkan. “Ada kopi Rp15 ribu, Rp20 ribu, Rp30 ribu, Rp40 ribu, semua memiliki pasarnya masing-masing. Banyaknya pelaku akan memberikan lebih banyak pilihan bagi masyarakat Indonesia,” kata dia.
Tahan rencana investasi?
Starbucks pertama kali hadir di Indonesia melalui pembukaan gerai di Plaza Indonesia pada 2002 silam. 22 tahun berjalan, banyak hal dilalui oleh perusahaan kopi asal Seattle, Amerika Serikat ini.
Baru saja melalui pandemi Covid-19, Starbucks kemudian harus menghadapi gelombang boikot karena dikaitkan dengan Israel yang berkonflik dengan Palestina di Gaza. “Itu sama sekali tidak benar, kami bahkan tidak memiliki gerai di Israel, ” kata Anthony. “Kami ini perusahaan kopi. Kami tidak memberikan sumbangan politik. Kami tidak memiliki koneksi atau afiliasi apapun.”
Bagaimanapun, ia mengakui bahwa boikot yang terjadi di berbagai daerah telah membuat penjualan perusahaannya menurun. Tak hanya itu, aksi vandalisme hingga unjuk rasa di gerai juga mengganggu kerja para mitranya.
Lalu, bagaimana kondisi itu berdampak terhadap rencana ekspansi perusahaan? “Tentu kami memiliki rencana untuk bertumbuh. Tapi ini situasi yang sulit untuk menambah investasi dan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan,” ujar Anthony. Ia meyakinkan, “Kami punya komitmen jangka panjang di Indonesia. Tentu kami akan berinvestasi pada saat yang tepat.”