Dewi Gontha: Perspektif Privilese dan Kepemimpinan Perempuan
Dewi Gontha sosok penting untuk Java Jazz Festival.
Jakarta, FORTUNE - Dewi Gontha, Presiden Direktur PT Java Festival Production, merintis bisnis di bidang promotor sejak 2005. Ia punya privilese nama belakang Gontha–dari sang ayah, Peter Gontha. Tapi, itu bukan satu-satunya hal yang membuat namanya besar di industri,
Privilese itu pedang bermata dua, menurutnya. Di satu sisi, itu membuka ragam peluang, seperti membuatnya lebih mudah menyusun jadwal pertemuan. Di sisi lain, bisa membebani.
“Kalau enggak bisa perform (untuk penuhi ekspektasi) justru itu bisa jadi beban,” katanya dalam sesi diskusi Women Leaders and The Dilemma of Being LIked di Indonesia Millennials & Gen Z Summit 2022, Kamis (29/9).
Jalannya merintis usaha di industri yang mayoritasnya laki-laki memang berliku. Tapi, ia bisa melakukannya. Mengutip situs resmi Java Festival Production, hingga saat ini perusahaan sudah berhasil meluncurkan 52 acara dengan 1.250 jam kerja. Perusahaan mengklaim, 124 klien merasa puas dengan layanan perusahaan.
Dewi Gontha sendiri butuh waktu bertahun-tahun untuk memperoleh pengakuan bahwa hal yang ia kerjakan adalah buah pekerjaannya sendiri. “Bukan hanya karena punya privilese,” imbuhnya.
Kombinasi tim dan keunikan pemimpin perempuan
Peran tim yang membersamainya tak kalah krusial. Jika ia belajar banyak soal mengelola perusahaan dari Peter, maka sederet timnya membantunya ihwal urusan teknikal. Sebab, ia mengaku tak punya pengalaman menyelenggarakan acara saat memulai perusahaan penggagas festival musik Java Jazz itu.
“Tim kami yang di awal, yang masih kerja bersama sampai sekarang, itu orang-orang yang sudah berpengalaman dari 1980-an akhir. Jadi itu yang saya dapat di awal dan masih terus belajar, lalu pass on ke staf yang ada sekarang,” jelasnya.
Bagaimana ia bisa membuat timnya menyokong keberhasilan Java Festival Production? Salah satunya, dengan memastikan agar kepemimpinannya disukai oleh mereka. Apalagi, ia pemimpin perempuan.
Menurut Dewi, memang masih ada stigma yang melekat terhadap ‘pemimpin perempuan. “Contoh, kalau kita terus-menerus minta satu hal yang sama, dibilang bawel banget. Kalau laki-laki yang lakukan itu, tendensinya dibilang persistent. Padahal kita lakukan hal yang sama,” ujarnya.
Tapi, baginya pemimpin perempuan punya kelebihan tersendiri, seperti bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu. Sesuatu yang sudah ia lakukan sebagai pebisnis sekaligus orang tua tunggal dari dua anak.
“Dengan itu pun masih bisa atur waktu untuk pekerjaan, anak, ataupun diri sendiri. Sekarang yang lagi belajar justri beri waktu untuk diri sendiri,” katanya, lalu menambahkan. “Seharusnya justru bangga sebagai perempuan bisa lakukan itu semua.”
Dewi mengatakan, kini para perempuan generasi muda punya keberanian lebih tinggi untuk mengekspresikan idenya ketimbang generasi sebelumnya–yang dulu lebih banyak menahan diri untuk bicara ketika makan bersama keluarga.
“Kalau sekarang kan beda. Anak-anak diberi waktu duluan untuk bicara. Sekarang yang muda-muda (itu) di kantor, belum ditanya sudah bicara duluan karena mereka kreatif, mau mengungkapkan yang ada di pikirannya,” ujarnya.