Finansial Milenial dan Gen Z Bisa Kacau Jika Ikuti Generasi Tua
Situasi ekonomi jadi tolok ukur terjadinya fenomena ini.
Fortune Recap
- Generasi milenial dan Gen Z menikah lebih sedikit
- Rata-rata mempunyai anak terlebih dahulu, lalu menikah, dan membeli rumah
- 44 persen orang berusia 18-49 tahun mengatakan kecil kemungkinan memiliki anak
Jakarta, FORTUNE – Generasi tua sebelum Milenial (Gen-Y) dan Gen Z mungkin punya sebuah impian Finansial seperti membeli rumah, menikah, dan memiliki anak. Namun, tidak demikian dengan dua generasi yang saat ini menjadi motor utama peradaban–milenial dan Gen-Z.
Melansir Fortune.com, penulis Money and Love dan pendiri Money and Love Institute, Abby Davisson, mengatakan bahwa sensus yang dilakukan kepada 117,6 juta warga Amerika Serikat (AS) menunjukkan, sebanyak 46,4 persen memutuskan untuk tidak menikah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya data 50 persen laki-laki yang menikah pada 2023, angkanya lebih rendah dibandingkan 70 persen laki-laki menikah pada 1960. Sementara pada kategori perempuan, ada sebanyak 65 persen yang menikah pada 1960, namun turun menjadi 50 persen pada 2023.
Data menunjukkan bahwa banyak orang yang memutuskan untuk mempunyai anak terlebih dahulu (rata-rata usia seorang ibu untuk pertama kali adalah 27 tahun, seorang ayah untuk pertama kalinya 30 tahun), lalu menikah (usia 28 tahun untuk perempuan, 30 untuk laki-laki) kemudian membeli rumah (usia rata-rata pembeli pertama di AS adalah 36 tahun).
Davisson mengatakan, hasil sensus ini adalah model mental yang sangat kuat, meski belum bisa dipukulratakan ke semua generasi tersebut. “Generasi muda seperti Gen X, milenial, dan Gen Z mungkin akrab dengan penilaian yang muncul ketika melakukan sesuatu yang ‘tidak sesuai aturan’,” ujarnya.
Sementara itu, menurut studi pada 2021 dari Pew Research, 44 persen orang yang bukan orang tua berusia 18-49 tahun, mengatakan bahwa kecil kemungkinan bagi mereka untuk memiliki anak.
Angka ini meningkat 7 persen dari 2018. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa mayoritas mereka tidak menginginkan anak karena tidak tertarik, sementara 17 persen mengatakan faktor keuangan adalah alasan mereka mengambil keputusan tersebut.
Untuk memahami lebih lanjut fenomena yang terjadi, Fortune.com pun menuliskan sejumlah faktor mengapa generasi muda saat ini cenderung tidak mengikuti ‘aturan’ pentahapan kehidupan yang selama ini diyakini oleh generasi tua.
Fleksibilitas dalam kehidupan
Faktor pertama adalah alasan fleksibilitas dalam menghadapi iklim ekonomi yang berkembang di masa kini. Hal ini bahkan menjadi kunci dari semua keputusan yang diambil generasi milenial dan Gen Z dalam menjalani kehidupan mereka.
“Dalam 10 tahun terakhir, suku bunga tidak menentu. Anda dapat menetapkan tujuan dan keadaan eksternal dapat berubah—tujuan tersebut mungkin berada di luar jangkauan dan tidak Anda duga. Jadi fleksibilitas itu penting,” kata Davisson.
Fleksibilitas, juga berlaku pada percakapan antar pasangan. Dalam hal ini rintangan terbesarnya adalah membangun jalur komunikasi yang terbuka. Menurutnya, pasangan perlu melakukan percakapan untuk mencari solusi terbaik, bukan kemenangan atau kompromi.
“Tujuannya sebenarnya adalah untuk mencapai solusi yang disepakati bersama dan dirasa baik-baik saja bagi Anda berdua,” ucap Davisson.
Dorongan untuk jadi lebih realistis
Faktor selanjutnya adalah dorongan untuk bisa lebih realistis pada keadaan. Mitra di Albion Financial Group, Doug Wells, mengatakan bahwa gambaran seorang pengantin baru yang digendong melewati ambang pintu rumah pertamanya sudah tidak lagi menjadi kenyataan. Situasi ini membuat beberapa orang bahkan melepaskan Impian kehidupan mereka.
“Ada keinginan yang kuat untuk membeli rumah, namun kelayakan untuk melakukan hal tersebut dan tantangannya menjadi jauh lebih sulit, baik untuk uang muka maupun untuk membayar. membayar pinjamannya,” kata Wells.
Hal ini merujuk pada kenyataan bahwa rata-rata uang muka pembelian rumah di AS mencapai US$31 ribu atau sekitar Rp485,68 juta (kurs Rp15.666,98 per dolar AS) pada tahun 2023.
Jumlah ini lebih tinggi tiga kali lipat jumlah US$10.000 atau Rp156,67 juta yang dibutuhkan pada satu dekade sebelumnya. Untuk memenuhi pembayaran pun makin sulit, terlebih setelah Federal Reserve menaikkan suku bunga dasar yang membuat The Fed menetapkan suku bunga tertinggi dalam 22 tahun.
Terlambatnya kesadaran mengendalikan keuangan
Direktur pelaksana Gottlieb Rose Wealth Management–bagian portofolio layanan keuangan UBS– Rachel Gottlieb, mengungkapkan faktor berikutnya adalah pelajaran untuk bisa memastikan pengendalian keuangan yang matang.
Gottlieb menyatakan bahwa memiliki anak dengan seseorang, tidak memberikan jaminan yang sama seperti perjanjian pra-nikah. “Anda sebaiknya mempertimbangkan perjanjian pranikah jika Anda sudah memiliki kekayaan karena jika terjadi sesuatu yang tidak beres. itu akan melindungi aset pra-nikah Anda, yang tidak relevan jika Anda punya anak atau tidak,” katanya.
Ia mengakui bahwa memang tidak ada solusi yang paling benar atau salah, namun keputusan ini bergantung pada komitmen pasangan menjalankan setiap keputusan itu sendiri. “Ada banyak pertimbangan berbeda yang saya sarankan agar Anda ketahui sebelum mengambil keputusan,” ujarnya.
Davisson menambahkan bahwa dukungan dari jasa keuangan untuk permasalahan di atas terwujud cukup terlambat, misalnya perempuan yang sudah bisa memiliki rekening bank dan kredit sejak 1960, namun baru menjadi praktik umum 15 tahun kemudian.
“Lembaga-lembaga keuangan kita adalah salah satu lembaga yang paling kuno untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat,” katanya.