Miliarder AS Yakin Kebijakan Fed Bakal Bikin Perekonomian Ambruk
Sudah saatnya Fed hentikan peningkatan suku bunga.
Jakarta, FORTUNE - Tadinya bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Fed dianggap terlalu lama menunda-nunda peningkatan suku bunga acuannya dan mengakhiri era uang murah. Namun, belakangan, otoritas moneter yang dipimpin oleh Jerome Powell itu dipandang terlalu cepat untuk menaikkan suku bunga. Tahun ini, Fed telah mengerek suku bunga hingga empat kali tahun ini dari 0,75-1,00 persen menjadi 3,00-3,25 persen pada September.
Keruan saja kebijakan yang dianggap terlalu pesat itu membuat perekonomian dunia, baik negara maju apalagi berkembang, kebat-kebit. Di dalam negerinya sendiri Fed bahkan dikecam karena merilis kebijakan yang berisiko menyeret perekonomian ke fase resesi. Barry Sternlicht, seorang miliarder AS, mencibir atas kebijakan Powell yang menurutnya "bakal meruntuhkan perekonomian."
Menurut CEO firma investasi Starwood Capital Group itu, seperti ditulis Fortune.com (6/10), Fed harus memberi jeda pada rentetan kenaikan suku bunganya demi mengamati dampaknya terhadap perekonomian. Dia mengatakan upaya Powell untuk mengelola inflasi telah cukup, dan kini adalah saatnya menunggu.
"Mereka harus menurunkan suku bunga karena perekonomian akan runtuh. Siapa yang akan menjalankan bisnis dengan cara seperti ini?" katanya.
Sternlicht menengarai Fed gagal memahami penyebab inflasi. Dalam pandangannya, kondisi tersebut bukan dipicu oleh kenaikan harga energi dan komoditas, tapi paket stimulus yang digelontorkan pemerintah seiring perekonomian yang mulai bergerak setelah terjadi pelonggaran karantina wilayah selama pandemi Covid-19.
"Kini saat momentum sedang terbangun dan orang-orang mulai mendapat pekerjaan serta gaji meningkat, mereka ingin menggilasnya dan membubarkan pesta," ujarnya.
Pendapat serupa dari Krugman pada September
Ekonom AS, Paul Krugman, memiliki pendapat serupa mengenai langkah agresif Fed meningkatkan suku bunganya. Menurutnya, kebijakan Fed kian menopang keperkasaan dolar AS terhadap pelbagai mata uang dunia lainnya. Itu artinya, kata dia, seperti dilansir Business Insider, Fed akan menimbulkan kerusakan lebih jauh pada perekonomian global ketimbang kebijakan bank sentral lain.
Fed telah memberikan sinyal akan terus mempertahankan kebijakan moneternya hingga inflasi berhasil dijinakkan. Namun, dengan apresiasi dolar AS, perekonomian dunia akan kebagian puntung.
Krugman percaya reli dolar AS yang mengesankan tahun ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan pengetatan moneter Fed. Bahkan, Bank Sentral Eropa yang telah menaikkan suku bunga acuannya saja harus menyaksikan euro bertekuk lutut di hadapan dolar AS.
Menurut Krugman, itu bisa terjadi karena dolar AS memiliki sejarah sebagai mata uang dominan global--hal yang membuatnya sulit didongkel dari pasar valuta asing. Meski AS berkontribusi sekitar 25 persen PDB dunia, turun dari 40 persen pada 1960, dolar AS masih lebih diterima dalam perdagangan dunia.
"Bertransaksi dalam dolar AS lebih murah karena banyak orang memakai dolar; meminjam dalam dolar AS cenderung lebih murah karena banyak tagihan dalam perdagangan dunia memakai dolar," kata Krugman.
Tren tersebut juga terlihat di sektor utang dan ekuitas: kebanyakan utang dunia terjadi dalam dolar AS, dan saham AS lebih mudah diakses para investor internasional daripada saham Eropa.
Masalahnya, Krugman tidak yakin Fed mau mendengar jeritan global saat ini. "Para petinggi Federal Reserve masih sangat mengkhawatirkan kemungkinan bahwa inflasi tinggi akan berurat berakar pada perekonomian AS. Kecemasan tersebut akan mendominasi segalanya hingga ada tanda-tanda yang jelas bahwa inflasi mulai mereda," ujarnya.