FINANCE

Tiongkok Larang Bitcoin Demi Yuan Digital. Apa Dampaknya?

Para penambang kripto langsung ambil langkah seribu.

Tiongkok Larang Bitcoin Demi Yuan Digital. Apa Dampaknya?Ilustrasi bitcoin. Shuterstock/Ascannio
30 September 2021

Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Tiongkok melalui People's Bank of China (PBoC) mengumumkan semua transaksi mata uang kripto adalah tindakan ilegal dan dilarang.Tak hanya itu, Tiongkok juga memperingatkan investor terhadap perdagangan aset kripto yang spekulatif.

Penjegalan ini menjadi upaya untuk menekan pasar perdagangan digital yang sedang berkembang. Di bawah larangan itu termasuk bank, saluran pembayaran online dan tidak boleh menawarkan klien untuk layanan apa pun yang melibatkan cryptocurrency, seperti pendaftaran, perdagangan, kliring, dan penyelesaian. Pada saat bersamaan, Tiongkok juga gencar mengembangkan yuan digital telah mempercepat langkah secara global. Apa pengaruhnya dan bagaimana dampaknya bagi pasar kripto dan investor?

Investor tidak perlu was-was

CEO Indodax, Oscar Darmawan, pernyataan bank sentral Tiongkok itu sempat menyebabkan aksi jual massal mata uang digital. Namun, menurutnya meski pelarangan tersebut sempat membuat harga bitcoin dan aset kripto lainnya jatuh, tetapi atensi dan minat masyarakat dunia sampai saat ini justru semakin tinggi. 

Dia menambahkan, pemberitaan tersebut semestinya tidak menjadi sebuah kekhawatiran besar untuk para investor.

“Investor tidak perlu was was. Menurut saya, pengumuman ini hanya akan berdampak jangka pendek karena aksi market jual yang sifatnya memang hanya sementara," ujar Oscar dalam keterangan tertulis, Senin (27/9).

Ia optimistis secara jangka panjang pelarangan itu tidak akan berdampak pada harga mata uang kripto. Dia mencontohkan, pada 1 Januari 2021, harga bitcoin menyentuh US$ 29.576 per koin atau setara sekitar Rp422 juta. Saat ini, harga bitcoin sudah menyentuh angka US$43.942 per koin atau setara Rp626 juta per 28 September.

Tiongkok memang negara yang sangat keras terkait transaksi kripto. Namun, hal ini menurutnya tidak perlu dikhawatirkan, mengingat banyak negara lain yang justru mendukung pertumbuhan aset kripto, termasuk Indonesia. Indonesia memperbolehkan aset kripto menjadi suatu komoditas dan sudah resmi diatur di bawah BAPPEBTI.

“Ekosistem Tiongkok dirancang tertutup termasuk internet. Tiongkok memblokir Youtube, WhatsApp, Facebook, Google dan menciptakan layanannya sendiri, tapi keempat layanan tersebut toh tetap berjaya sampai saat ini," ujar Oscar.

Sementara itu, Co-founder CryptoWatch, Christopher Tahir mengungkapkan, sentimen tersebut akan lebih memberikan efek kepada para pemain baru dan menimbulkan kepanikan. Namun, bagi pemain lama sentimen negatif yang membuat harga terkoreksi tajam justru dimanfaatkan untuk melakukan akumulasi dan sentimen tersebut tidak banyak memberikan dampak negatif bagi mereka.

Christopher mengatakan, saat ini akan menjadi periode yang volatile bagi pasar kripto karena pasar akan menantikan banyak kepastian. Namun, sampai kapan harga terkoreksi belum bisa dipastikan.

“Banyak sekali faktor X yang juga tidak terpublikasi sebelumnya. Seperti contohnya krisis Evergrande yang sebelumnya gak ada yang dengar, tiba-tiba meledak. Faktor lainnya bergantung pada edukasi kepada investor ritel, persepsi dari pemain besar, dan kondisi perekonomian nantinya,” katanya kepada Fortune Indonesia Rabu (29/9).

Menariknya, di tengah kebijakan Tiongkok  untuk menghindari risiko spekulatif uang kripto terhadap pasar keuangan mereka, justru di saat yang sama, bank sentral Tiongkok tengah menguji mata uang digitalnya sendiri.

“Sama seperti kebiasaan Tiongkok sejak dulu, tiap kali mereka ban suatu teknologi atau platform, akan diikuti dengan pembuatan dalam negeri mereka. Misal Google di ban, dibuat Baidu. Saat ini tampaknya finalisasi yuan digital semakin dekat, sehingga ini dilakukan guna memudahkan pemerintah nge-push ke rakyatnya,” ujarnya.

Larangan Tiongkok membuat para penambang “kabur”

Christopher juga mengatakan, meskipun bukan pertama kali sentimen pelarangan tegas aset kripto oleh PBoC kali ini membuat membuat para penambang ‘kabur’ dari Tiongkok.

Tercatat sejumlah penambang uang kripto di China mulai pindah dan menjual mesin tambang mereka ke luar negeri, seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Rusia, Kazakhstan, hingga Indonesia

“Namun ada sedikit perbedaan dengan yang kali ini di mana kali ini, tampak beberapa pelaku mulai mendiversifikasikan bisnis mereka keluar dari Tiongkok. Contohnya kabar terbaru, yaitu Bitmain, produsen ASIC miner dari Tiongkok, yang dikabarkan akan mengepakkan sayap mereka ke Indonesia dan Malaysia,” katanya kepada Fortune Indonesia, Rabu (29/9).

Meskipun demikian, kata dia, aksi hengkang tersebut tentunya akan cenderung berpotensi membuat komunitasnya semakin kuat dan di sisi lain akan tetap mampu memelihara demand yang ada. Sikap tegas Tiongkok juga tidak bisa diartikan menjadi penghalang untuk pengembangan aset kripto.

Dilansir Reuters, Rabu (29/9),  Mike Huang, seorang operator tambang uang kripto di Sichuan, Tiongkok mengatakan, “Banyak penambang keluar dari bisnis (uang kripto) untuk mematuhi kebijakan pemerintah (Tiongkok). Mesin tambang (uang kripto) dijual seperti besi tua," ucapnya.

Huang Dezhi, operator tambang uang kripto lain di Sichuan mengaku juga sudah melakukan penjajakan ke luar negeri seperti Kazakhstan. Sichuan sendiri merupakan salah satu kawasan yang terkenal sebagai pusat penambangan bitcoin nomor dua di Tiongkok setelah Xinjiang.

"Jika pemerintah tidak membalikkan kebijakan tersebut, kami tidak akan punya pilihan lain. Anda tidak dapat menentang keputusan pemerintah pusat," ujar Dezhi.

Tak hanya Huang dan Dezhi, Liu Hongfei, operator tambang uang kripto lainnya, juga mengaku mau tidak mau harus meninggalkan bisnis ini karena larangan pemerintah Tiongkok. 

"Jika pemerintah tidak mengizinkannya, saya harus berhenti. Anda tidak mungkin melawan Partai Komunis, bukan?" kata Hongfei.

Related Topics

    © 2024 Fortune Media IP Limited. All rights reserved. Reproduction in whole or part without written permission is prohibited.