Rupiah Melemah hingga Sentuh Rp16.000, Ini Sentimen Pemicunya
The Fed diperkirakan pangkas suku bunga pada 2025.
Jakarta, FORTUNE - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjelang akhir pekan, Jumat (13/12) ditutup melemah melemah 64 poin atau 0,4 persen di level Rp16.008 per Dolar As.
Pada penutupan perdagangan sebelumnya, Kamis (12/12) rupiah ditutup melemah 25 poin di level Rp.15,944. Adapun, indeks dolar naik 0,06 poin menjadi 107,06. Laju rupiah dibayangi sejumlah sentimen, salah satunya pemangkasan Suku Bunga bank sentral (The Fed).
Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, brahim Assuaibi mengatakan bank sentral secara luas diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin. Hal ini menyebabkan pasar menjadi semakin tidak yakin atas rencana jangka panjang untuk suku bunga, apalagi data minggu ini menunjukkan inflasi AS tetap tinggi.
The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga dengan kecepatan yang lebih lambat pada 2025 setelah memangkas suku bunga sebesar 75 bps sejauh ini pada 2024.
“Kebijakan ekspansif dan inflasi di bawah Presiden terpilih Donald Trump juga diperkirakan akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka panjang. Selain Fed, keputusan suku bunga di Jepang dan Inggris juga akan menjadi fokus minggu depan,” katanya dalam keterangan tertulis dikutip Jumat (13/12).
Selain itu, Investor kecewa dengan serangkaian langkah stimulus agresif setelah pembaruan dari Konferensi Kerja Ekonomi Pusat (CEWC) China, pertemuan dua hari yang berakhir kemarin. Sebuah pernyataan media pemerintah menunjukkan bahwa Tiongkok berjanji untuk meningkatkan defisit anggarannya, meningkatkan penerbitan utang, dan melonggarkan kebijakan moneter untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi di tengah ketegangan perdagangan yang diantisipasi dengan AS.
Namun, pasar melihat kebijakan tersebut tidak mungkin memberikan momentum ekonomi langsung yang dibutuhkan untuk melawan tekanan deflasi Tiongkok. Di CEWC, Beijing menetapkan target untuk pertumbuhan ekonomi, defisit anggaran, penerbitan utang, dan variabel lain untuk tahun mendatang. Target tersebut disetujui pada pertemuan tersebut, tetapi tidak akan dirilis secara resmi hingga pertemuan parlemen tahunan pada Maret mendatang.
Sentimen Kenaikan PPN 12 Persen
Dari dalam negeri, pergerakkan rupiah juga terpengaruh faktor kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang diproyeksikan mulai berlaku pada 2025. Kebijakan tersebut berpotensi menambah penerimaan negara hingga Rp 75 triliun, efeknya terhadap ekonomi makro tidak dapat diabaikan.
“Resiko terhadap inflasi dan daya beli masyarakat harus diwaspadai. Sebagai contoh, pada 2022 ketika PPN naik menjadi 11 persen, inflasi meningkat hingga 0,95 persen dalam satu bulan. Dampak serupa bisa terjadi, bahkan lebih besar,” katanya.
Para ekonom memperingatkan potensi efek crowding out pada konsumsi dan investasi. Daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, kemungkinan besar akan tertekan, di mana hal ini bisa berdampak pada penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, diperlukan alokasi yang tepat untuk pendapatan tambahan dari kenaikan PPN. Pendapatan tersebut harus diarahkan untuk mendukung program-program pro-rakyat, seperti subsidi kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur dasar.
Dengan sentimen global dan dalam negeri, dia memperkirakan rupiah pada Senin pekan depan melemah. “Senin depan, mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp15.090 - Rp16.070,” kata Ibrahim.