FINANCE

Penyebab Lambatnya Serapan Anggaran di Tengah Kenaikan Utang

Rendahnya belanja APBN tersebab macetnya serapan Pemda.

Penyebab Lambatnya Serapan Anggaran di Tengah Kenaikan UtangSri Mulyani, Menteri Keuangan RI. (Flickr)
24 September 2021

Jakarta, FORTUNE - Realisasi belanja APBN hingga akhir Agustus 2021 masih berada di angka Rp1.560,8 triliun atau 56,8 persen dari total pagu Rp2.750 triliun. Capaian tersebut terbilang lambat sebab pertumbuhan tahunannya hanya sebesar 1,5 persen, turun dari periode sama 2020 yang mencapai 10,8 persen.

Dus, dengan periode tahun anggaran yang hanya tersisa empat bulan, pemerintah harus menggenjot belanja hingga Rp1.89,2 triliun. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTA, Kamis (24/9), menjelaskan lambatnya realisasi belanja APBN disebabkan mampetnya penyerapan anggaran di tingkat daerah. Pasalnya, anggaran yang masih belum banyak terpakai berasal dari pos belanja Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Dari total pagu Rp795,5 triliun, TKDD baru bisa terserap Rp472,91 triliun per akhir Agustus 2021. Dengan demikian, secara kumulatif realisasi belanja TKDD hanya 59,5 persen dari target. "TKDD mengalami kontraksi 15,2 persen dibandingkan 2020," katanya

Kecuali Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik yang masih tumbuh 0,1 persen, serapan TKDD menurun di semua jenis belanja. Dana Alokasi Umum turun 5,9 persen; Dana Bagi Hasil turun 30,2 persen; DAK Fisik turun 61,9 persen; Dana Insentif Daerah turun 38,4 persen; Dana Otsus dan Daerah Istimewa Yogyakarta turun 56,1 persen; serta Dana Desa turun 17 persen.

Di samping itu, belanja non kementerian/lembaga (K/L) juga mengalami penurunan akibat rendahnya serapan THR, dana pensiun, subsidi energi serta pupuk. "Pertumbuhan belanja K/L menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa kuat yakni 21,5 persen. Namun non belanja K/L minus 0,9 persen," jelasnya.

Kenaikan Utang Pemeirntah

Rendahnya serapan belanja APBN menjadi ironi ketika lebih dari sepertiga pembiayaan APBN ditopang utang. Hingga akhir Agustus, pemerintah telah menarik utang sebesar Rp550,6 triliun. Meski terbilang rendah dibandingkan target sebesar Rp1.177,4 triliun di tahun ini, jumlah utang tersebut tetap besar sebab akan menjadi beban belanja pemerintah pada tahun-tahun mendatang.

Terlebih, akumulasi utang pemerintah pusat sudah mencapai Rp6.570,7 triliun per Juli 2021. Rasionya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga terus meningkat. Sebagai perbandingan, pada 2016 total utang pemerintah masih 27,5 persen dari PDB. Namun, tahun ini rasionya 40,51 persen.

Simpanan Daerah Meningkat

Lantaran itu, Sri Mulyani menyoroti simpanan pemerintah daerah (pemda) yang mengalami tren kenaikan sejak 2019. Per 31 Agustus 2021 jumlah simpanan itu masih meningkat 3,01 persen menjadi Rp178,95 triliun dari Juli yang sebesar Rp173,73 triliun. "Kenaikan ini menjadi perhatian kami," tegasnya.

Menurut sang Bendahara Negara, kenaikan tersebut disebabkan rendahnya realisasi belanja daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Indonesia baru dibelanjakan sebesar 44,2 persen sampai akhir bulan lalu. Selain itu, saldo rata-rata APBD di akhir tahun dalam tiga tahun belakangan juga cukup besar yakni mencapai Rp96 triliun. 

Ia juga menyampaikan adanya provinsi dengan nilai simpanan yang lebih besar dibandingkan biaya operasional tiga bulan ke depan. Selisih tertinggi antara nilai simpanan dan biaya operasional tiga bulan tersebut berada di Jawa Timur sebesar Rp9,9 triliun, Aceh Rp4,3 triliun, dan Jawa Tengah Rp4,2 triliun.

Sementara provinsi yang memiliki biaya operasional lebih tinggi dari nilai simpanan antara lain DKI Jakarta yaitu Rp2,5 triliun, Lampung Rp 1,1 triliun, dan Nusa Tenggara Barat Rp900 miliar. "Tentunya kami berharap kalau biaya operasionalnya lebih tinggi di atas simpanannya berarti dananya sudah digunakan," tandas Sri Mulyani.

Related Topics

    © 2024 Fortune Media IP Limited. All rights reserved. Reproduction in whole or part without written permission is prohibited.