Prospek Pertumbuhan Dana Kelolaan Reksa Dana Masih Menjanjikan
Analis memperkirakan reksa dana berpeluang melaju.
Jakarta, FORTUNE – Reksa dana menjadi alternatif investasi di tengah gonjang-ganjing krisis akibat COVID-19. Instrumen investasi tersebut menawarkan pelbagai kemudahan serta keuntungan. Di tahun kedua pandemi, dana kelolaan reksa dana juga tetap tumbuh.
Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dana kelolaan (nilai aktiva bersih/NAB) reksa dana mencapai Rp579,96 triliun, tumbuh 1,1 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Tahun lalu, dana kelolaan reksa dana naik 5,8 persen menjadi Rp573,54 triliun. Sedangkan, pada 2019, pertumbuhannya 7,0 persen menjadi Rp542,17 triliun.
Pasar uang tertinggi
Ada empat jenis reksa dana yang biasanya dipilih oleh investor: pasar uang, pendapatan tetap, saham, dan campuran. Reksa dana pasar uang 100 persen dananya ditempatkan ke instrumen deposito dan surat utang atau obligasi jatuh tempo di bawah 1 tahun. Lalu, reksa dana pendapatan tetap banyak berisi aset obligasi jangka panjang milik negara maupun swasta.
Akan hal reksa dana saham, 80 persen alokasinya ditempatkan pada instrumen saham, dan sisanya pada obligasi. Reksa dana campuran—sesuai namanya—berisi sejumlah instrumen investasi seperti deposito, obligasi, dan saham.
Tahun lalu, dana kelolaan reksa dana pasar uang tumbuh 17,7 persen menjadi Rp11,33 triliun. NAB reksa dana pendapatan tetap dan saham juga meningkat masing-masing 13,1 persen dan 5,3 persen. Sedangkan, reksa dana campuran terkoreksi 1,7 persen—meski lebih baik dari kontraksi 13,1 persen tahun sebelumnya.
Pada 2019 hingga 2021, rata-rata pertumbuhan dana kelolaan reksa dana pasar uang mencapai 35,4 persen dan pendapatan tetap 13,8 persen. Sebaliknya, dalam kurun sama, reksa dana saham dan campuran terkoreksi 6,2 persen dan 2,1 persen.
Penyebab tumbuh melambat
Direktur Avrist Management, Tubagus Farash Akbar Farich, memperkirakan dana kelolaan reksa dana tumbuh lambat seiring turunnya kinerja saham perusahaan berkapitalisasi besar (big caps). Pada saat sama, kinerja obligasi juga cenderung stagnan. Faktor lainnya, investasi reksa dana oleh investor institusi juga relatif rendah.
“Reksa dana pasar uang tumbuh karena likuditas di pasar uang masih sangat tinggi antara lain karena penyaluran kredit masih tumbuh rendah dan konsumsi masyarakat dan korporasi belum tinggi,” katanya kepada Fortune Indonesia, Senin (10/1).
Menurut Head of Investment Research Infovesta Utama, Wawan Hendrayana, pertumbuhan NAB reksadana tersebut menyusul penurunan reksa dana terproteksi, yang merupakan jenis reksadana yang melindungi sepenuhnya pokok investasi saat jatuh tempo. Mengutip data OJK, NAB reksadana terproteksi pada periode sama menurun 28,0 persen menjadi Rp104,63.
Penurunan NAB itu diperkirakan karena langkah pemerintah menyesuaikan pajak reksa dana terproteksi yang memiliki obligasi menjadi 10 persen dari sebelumnya 5 persen. Pada saat sama, pajak obligasi juga diturunkan menjadi 10 persen dari sebelumnya 15 persen. Dengan begitu, kini investor yang memegang reksa dana terproteksi maupun obligasi sama-sama dikenai jumlah pajak sama.
“Jadi untuk investor institusi terutama reksa dana proteksi jadi kurang menarik karena jumlah pajaknya sama,” ujarnya kepada Fortune Indonesia. “Jadi sebetulnya kalau dibilang pertumbuhannya stagnan, ya, itu akibat proteksi turun. Kalau pasar uang sih luar biasa sekali growth-nya paling tinggi di situ. Kedua, di pendapatan tetap yang growth-nya paling tinggi.”
Namun, menurut Wawan, meski investasi dari investor institusi menurun, di saat sama kehadiran investor ritel diperkirakan sanggup menyokong NAB reksa dana. Sebab, investor ritel itu justru tumbuh di masa pandemi. Berdasarkan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), pada 2021 jumlah investor reksa dana melonjak 115,41 persen menjadi 6,84 juta orang. Dari jumlah itu, dominasinya adalah investor muda atau di bawah 30 tahun.
Proyeksi 2022
Analis juga memperkirakan dana kelolaan reksa dana berpeluang tumbuh tinggi tahun ini. Tubagus Farash, misalnya, menyebut kondisi itu seiring dengan pemulihan bisnis yang terus berlanjut.
Dia berpendapat investor bisa mempertimbangkan meletakkan dananya ke reksa dana saham di tengah isu kenaikan suku bunga serta potensi kenaikan inflasi. Investor dapat memilih saham-saham kapitalisasi besar yang tergabung dalam indeks LQ45 dan IDX 30.
Senada, Wawan Hendrayana mengatakan reksa dana saham berpeluang tumbuh lebih baik. Alasannya, Indonesia tahun ini lebih siap dengan kesehatan masyarakat yang lebih baik serta tingkat vaksinasi COVID-19 tinggi.
“Jadi, potensi untuk pertumbuhan ekonomi kita 5 persen itu terbuka lebar. Kalau seperti itu biasanya instrumen saham yang akan diuntungkan,” katanya.
Namun, reksa dana pasar uang tetap akan menjadi alternatif, kata Wawan. Sebab, jenis reksa dana itu disinyalir diminati oleh generasi muda karena rendah risiko. Reksa dana pasar uang juga bisa berfungsi sebagai tempat memarkir dana sementara sebelum membiayai keperluan belanja.