Riset: 2025, Indonesia Pasar Utama Dompet Digital & PayLater di Asean
Perubahan metode pembayaran dinilai jadi peluang bisnis.
Jakarta, FORTUNE – Indonesia diprediksi bakal menjadi pasar utama metode pembayaran digital, khususnya yang melalui dompet digital dan layanan paylater, di Asia Tenggara pada 2025. Begitu kesimpulan riset International Data Corporation (IDC), firma intelijen industri teknologi informasi, yang didukung oleh 2C2P, penyedia platform pembayaran.
Dalam laporan bertajuk How Southeast Asia Buys and Pays: Driving New Business Value for Merchants November 2021, pengguna layanan dompet digital di Indonesia diprediksi akan bertambah mencapai bahkan 132,5 juta orang tiga tahun mendatang.
Sebagai perbandingan, jumlah pengguna dompet digital Malaysia bertambah 11,2 juta orang, Filipina 38,1 juta orang, Singapura 1,7 juta orang, Thailand 23,3 juta orang, dan Vietnam 43,3 juta orang pada periode sama.
Indonesia juga ditaksir bakal mengalami lonjakan transaksi buy now pay later (BNPL) untuk e-commerce bahkan sebanyak 8,7 kali lipat, dan menjadikannya pasar terbesar di Asia Tenggara pada 2025.
“Kehadiran opsi baru seperti e-wallet dan buy now pay later memberikan akses kepada masyarakat yang sebelumnya belum tersentuh layanan keuangan konvensional. Jutaan pengguna baru ini adalah segmen pelanggan baru yang perlu diakomodasi oleh bisnis lokal,” kata Adi Nugroho, Country Head 2C2P Indonesia, dalam keterangan kepada media, Jumat (25/2).
Menurut laporan tersebut, metode pembayaran e-commerce di Indonesia diperkirakan 30 persen dari domestic payments (transfer bank). Sisanya, pembayaran kartu (29 persen), dompet digital (28 persen), pay later 2 persen, dan lain-lain 11 persen. Total nilai transaksi sejumlah metode pembayaran tersebut US$32 miliar atau setara dengan Rp457,60 triliun.
Pada 2025, metode pembayaran porsinya akan berubah sebagai berikut: domestic payment 28 persen, pembayaran kartu 28 persen, dompet digital 32 persen, serta lain-lain dan pay later masing-masing 6 persen. Dengan begitu, ada peningkatan di dompet digital dan pay later.
Nilai transkasi keseluruhan metode pembayaran juga ditaksir melonjak menjadi US$83 miliar atau Rp1.186,90 triliun.
Evolusi pembayaran jadi peluang bisnis
Proyeksi perubahan metode pembayaran yang bakal makin beragam tersebut bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha khususnya ritel dalam mempercepat jangkauan bisnis, kata Adi.
Berdasarkan laporan sama ditemukan bahwa para peritel dapat mengharapkan peningkatan rata-rata 10 persen dalam penjualan saat menambahkan satu metode pembayaran populer baru.
“Kehadiran pembayaran digital membawa potensi besar bagi bisnis, dalam hal memperkuat hubungan dengan pelanggan, memberikan pengalaman pelanggan yang lebih baik, serta mendorong skala bisnis dan memperluas pasar. Pada saat sama, pemain ritel masih perlu mempertimbangkan lanskap pembayaran yang beragam di Asia Tenggara,” ujarnya.
Menurutnya, setiap negara memiliki keunikannya masing-masing, dengan tingkat penetrasi internet, akses finansial, regulasi, dan preferensi pengguna yang berbeda-beda. Jika hal ini dapat disikapi dengan baik, adopsi pembayaran digital akan berdampak signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Adi merekomendasikan sejumlah poin untuk adopsi pembayaran digital seperti e-wallet dan buy now pay later sebagai berikut:
- Mendukung opsi pembayaran domestik dan internasional di berbagai pasar serta fitur pembayaran yang dapat disesuaikan
- Menggabungkan pembayaran offline dan online (omnichannel) dalam satu platform untuk mengoptimalkan operasi perusahaan;
- Skala dan adaptasi terus menerus seiring dengan perkembangan operasional; dan
- Rekam jejak yang tinggi dalam keamanan.
Metode pembayaran elektronik semakin masif
Kadence International turut merekam fenomena penggunaan e-wallet di Indonesia dalam laporan bertajuk Digital Payment and Financial Services Usage and Behaviour in Indonesia. Perusahaan riset pasar tersebut melakukan jajak pendapat terhadap 1.000 responden di sejumlah wilayah seperti Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Makassar, Palembang Medan, pada Agustus 2021.
Hasil survei menemukan bahwa responden menyatakan menggunakan setidaknya 2-3 aplikasi e-wallet dalam sebulan terakhir. Bahkan, 44 respoden di antarnya menyatakan mereka menggunakan dompet digital empat kali dalam seminggu.
Ovo menjadi dompet digital dengan awareness tertinggi mencapai 96 persen, menurut survei sama. Setelahnya, diikuti GoPay (95 persen), Shopee Pay (81 persen), Dana (93 persen), dan LinkAja (75 persen).
Dalam survei sama, terlihat responden setidaknya menggunakan dompet digital untuk melakukan transaksi seperti pemesanan makanan, belanja daring (online shopping), dan isi ulang pulsa (mobile phone top-up).
Sementara menurut laporan bertajuk Indonesia Paylater Ecosystem Report 2021, pay later menjadi salah satu aplikasi dari 3 produk teknologi finansial (financial technology/fintech) yang paling banyak digunakan di Indonesia. Pay Later beroleh skor 72,5 persen, lebih rendah dari 82,2 persen digital money, namun masih lebih tinggi dari 57,3 persen aplikasi investment.
Pasar pay later diprediksi akan tumbuh dengan rata-rata tahunan mencapai 27,4 persen pada 2021 hingga 2028. Pada 2020, nilai transaksi pay later baru mencapai US$889,7 juta, namun pada 2028 akan melonjak menjadi US$8,5 miliar atau setara dengan Rp121,55 triliun.
Sejumlah pemain pay later dalam negeri, di antaranya Akulaku, Gopaylater, Indodana, Home Credit, Kredivo, dan masih banyak lainnya.
Di luar itu, Bank Indonesia (BI) sebelumnya mencatat sepanjang 2021 nilai transaksi elektronik tumbuh 49,06 persen menjadi Rp305,4 triliun. Tahun ini, bank sentral memperkirakan transaksi digital akan tumbuh menjadi Rp357,7 triliun.