Survei: Ekonomi Tak Menentu, Konsumen Mulai Hati-Hati dalam Berbelanja
Konsumen memilih untuk menyimpan penghasilannya.
Jakarta, FORTUNE – Masyarakat mulai menyesuaikan tingkat konsumsi di tengah kondisi perekonomian yang masih belum menentu seperti inflasi dan krisis akibat pandemi. Namun, konsumen pun mulai memperhatikan soal keberlanjutan dan pengalaman belanja.
Berdasarkan survei global bertajuk EY Future Customer Index, kenaikan biaya barang dan jasa berdampak terhadap 52 persen kemampuan masyarakat dalam membeli barang, serta keputusan pembelian. Sebagian besar penurunan motivasi ini dianggap akibat dari inflasi serta varian baru COVID-19.
Survei menunjukkan konsumen bakal mengendalikan konsumsi dengan beralih ke alternatif barang yang lebih terjangkau, serta membeli lebih sedikit barang yang dinilai tidak penting.
“Dengan daya beli yang menurun dan ketidakpastian yang membayangi, konsumen dipaksa untuk memikirkan kembali kebiasaan belanja mereka untuk bukan hanya barang, tetapi juga kebutuhan sehari-hari,” kata Iwan Margono, EY Asia-Pacific Buy and Integrate Leader; EY-Parthenon Indonesia Leader and Partner, PT Ernst & Young Indonesia, dalam keterangan kepada media, Jumat (2/9).
Situasi tersebuut berdampak paling besar terhadap konsumen berpenghasilan rendah (61 persen), konsumen berpendapatan menengah (48 persen), dan berpenghasilan tinggi (42 persen).
Di sejumlah negara Asia seperti Indonesia, India, dan Thailand, 50 persen responden survei bepenghasilan menengah dan 60 persen berpendapatan tinggi ikut terdampak kenaikan harga.
Laporan itu juga menunjukkan konsumen di Asia—yang mayoritas penduduknya berpenghasilan harian atau mingguan—menjadi lebih berhati-hati dalam berbelanja serta memilih untuk menabung. Itu terjadi di Indonesia (84 persen), India (81 persen), Thailand (75 persen), dan Cina 68 persen.
Keberlanjutan dan pengalaman
Survey EY pun merekam perubahan perilaku konsumen misalnya dalam hal keberlanjutan (sustainability). Sebanyak 52 persen responden menyampaikan komitmennya untuk lebih memperhatikan dampak lingkungan dari pembelian mereka.
Lalu, 72 persen responden Indonesia menyatakan bakal lebih peduli tentang dampak lingkungan dan keputusan pembelian. Sedangkan, 42 persen konsumen menyebut akan membeli dari brand yang memiliki kesesuaian nilai dengan mereka.
Selain itu, konsumen juga memprioritaskan pengalaman belanja. Sekitar 36 persen konsumen berencana mengunjungi toko fisik yang memberikan pengalaman berkesan. Temuan itu pun konsisten dengan negara Asia yang memiliki kolektivisme tinggi seperti India (69 persen), Cina (59 persen), Indonesia (55 persen) dan Thailand (53 persen).
Meski begitu, hanya 36 persen responden dari Indonesia yang bersedia mengeluarkan lebih banyak uang untuk mendapatkan pengalaman berbelanja yang berkesan, dan 45 persen konsumen memilih pengalaman berbelanja yang datang menuju mereka.
“Pengalaman merupakan prioritas utama yang mengalami peningkatan terbesar, dua kali lipat sejak tahun 2020 dan sekarang menjadi prioritas terbesar ketiga yang mempengaruhi konsumen dalam membuat keputusan berbelanja, di mana sebelumnya merupakan prioritas terbawah pada masa awal pandemi,” kata Anugrah Pratama, EY-Parthenon Partner, Strategy and Transactions EY.
Survei itu juga memperlihatkan 47 persen pembeli Asia-Pasifik saat ini lebih memilih saluran daring untuk produk yang sebelumnya dibeli di toko karena kenyamanan belanja online.