Kenaikan BBM Dikhawatirkan Buat Kredit Bank Seret dan Perbesar NPL
Pertumbuhan kredit diprediksi bakal kembali terkoreksi.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah telah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite, Solar subsidi pada Sabtu (3/9). Harga Pertalite naik dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter. Kemudian harga Solar subsidi juga naik dari Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Kenaikan harga tersebut tentu berdampak ke sejumlah bisnis termasuk perbankan.
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, kenaikan BBM tersebut dikhawatirkan memperlambat penyaluran kredit hingga berdampak terhadap pembengkakan kredit macet atau Non Performing Loan (NPL).
"Dengan melihat risiko yang ada di lapangan, ya permintaan dunia usaha terdampak. Industri manufaktur juga terdampak maka perbankan akan sangat berhati-hati menyalurkan pinjaman kreditnya," kata Bhima ketika dihubungi Fortune Indonesia di Jakarta, Senin (5/9).
Pertumbuhan kredit diprediksi bakal kembali terkoreksi
Bhima bahkan menyatakan, pertumbuhan kredit perbankan dikhawatirkan bakal kembali terkoreksi di tengah akselerasi penyaluran kredit. Oleh sebab itu, perbankan harus bisa mengantisipasi hal tersebut.
"Jadi pertumbuhan kredit yang sekarang sudah dalam tahap pemulihan cukup bagus mungkin bisa terkoreksi ke depannya," kata Bhima.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat kredit yang disalurkan oleh perbankan pada Juli 2022 mencapai Rp6.143,7 triliun atau tumbuh 10,5 persen (yoy) membaik dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tumbuh 10,4 persen (yoy).
DPK nasabah diproyeksi bakal tergerus
Tak hanya itu, Dana Pihak Nasabah (DPK) nasabah juga diproyeksikan bakal tergerus akibat kenaikan harga BBM. Apalagi, saldo rekening nasabah lebih banyak didominasi dengan nilai di bawah Rp1 miliar.
"Ada penurunan DPK, ini karena masyarakat mengkompensasi kenaikan harga BBM dia berarti harus mengeluarkan uang yang lebih banyak," kata Bhima.
Di sisi lain, rata-rata upah minimum daerah hanya naik satu persen setiap tahunnya. Degan demikian, pendapatan dan pengeluaran akan tidak seimbang dan menggerus tabungan masyarakat.