Pilpres 2024 diyakini Tidak akan Berdampak Terhadap Kebijakan Ekonomi
Indonesia tak perlu khawatir akan perang Rusia-Ukraina.
Jakarta, FORTUNE - Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2024 tinggal dua tahun lagi, sejumlah partai politik mulai menjajaki koalisi. Namun demikian, kondisi tersebut dinilai tidak akan berdampak signifikan terhadap kebijakan ekonomi dalam negeri.
Chief Economist DBS Taimur Baig menelaah, setelah Pilres Indonesia usai, tidak akan mengalami perubahan kebijakan ekonomi yang besar.
“Dalam 10-20 tahun ini, terlepas dari adanya pergantian presiden, kebijakan ekonomi Indonesia tidak pernah mengalami perubahan yang signifikan mengingat partai politik di Indonesia tidak memiliki ideologi ekonomi yang sangat bertolak belakang," kata Taimur melalui keterangan resmi di Jakarta, Senin (6/6).
Taimur menambahkan, kondisi Indonesia berbeda dengan apa yang terjadi di AS, ketika satu partai memiliki kekuasaan, maka kebijakan yang sudah dijalankan seringkali dirombak sepenuhnya. Sehingga tak jarang Pilpres AS mengakibatkan perekonomian AS yang berada dalam ketidakpastian.
Indonesia tak perlu khawatir dampak perang Rusia-Ukraina
Sementara itu, dari sisi global, kondisi ekonomi dunia kini tengah mengalami berbagai guncangan akibat perang yang tengah terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Meski demikian, Taimur Baig optimis perekonomian dunia memiliki secercah harapan. Selain itu, menurutnya, Indonesia memiliki prospek yang cukup menjanjikan dan tak perlu khawatir akan perang tersebut.
Indonesia sendiri telah menjadi salah satu negara dengan impor gandum terbesar dari Ukraina, atau menduduki peringkat kedua berdasarkan hasil riset United Nations (UN) Comtrade 2021. Berdasarkan data tersebut, di tahun lalu Indonesia mengimpor 2,81 juta ton atau 14,49 persen dari jumlah keseluruhan ekspor gandum Ukraina dalam setahun. Bahkan membuahkan transaksi impor yang melebihi US$638 juta dolar, terbesar dibandingkan negara-negara lainnya di Asia.
Meski demikian, Taimur memandang hal ini tidak perlu dikhawatirkan mengingat negara-negara yang terdampak masih bisa menemukan sumber pengekspor pangan lain yang dapat menggantikan Ukraina.
“Saya rasa kita masih memiliki sumber suplai komoditas dalam jumlah besar di dunia ini, baik itu nasi, gandum, mau pun kopi. Saya juga tidak melihat bahwa kita sedang berada di tengah krisis suplai parah karena kondisi ini lebih menyangkut ke permasalahan distribusi saja,” jelas Taimur.
Cadangan devisa kuat
Selain tantangan distribusi pangan, negara emerging market juga mengalami tantangan lain dalam 35 tahun terakhir. Di mana setiap kali AS menaikkan tingkat suku bunga, menyebabkan volatilitas dan pasar global menekan mata uang. Perekonomian negara yang bergantung pada aliran modal global menjadi sulit karena tingkat suku bunganya mengikuti tren global.
Meski menjadi tantangan tersendiri, Taimur percaya hal ini masih dapat dikendalikan. Ekonomi Asia dinilai memiliki cadangan devisa yang jauh lebih tinggi dan luas serta defisit ekonomi yang lebih rendah, sehingga membuat Asia lebih siap menaklukkan tantangan perekonomian yang kompleks.
Pada Mei 2022 lalu, Bank Indonesia (BI) juga memutuskan untuk mempertahankan suku bunga. Taimur menganggap langkah ini tidak menjadi persoalan, mengingat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) stabil, dan Indonesia sejauh ini tidak menghadapi kesulitan pangan yang di luar kendali.
Menurutnya, secara keseluruhan, meskipun tingkat suku bunga di AS naik, tetapi hal ini tidak berpengaruh terhadap volatilitas rupiah. Alasannya, Indonesia telah memiliki eksposur terhadap banyak komoditas, dan harga komoditas yang tinggi pun tersedia di Indonesia. Kendati Indonesia juga pernah mengalami beberapa masalah krisis pangan global, tetapi di saat yang bersamaan, diimbangi juga dengan ekspor gas dan minyak.