Survei: Minat Masyarakat terhadap Bank Digital Makin Tinggi, Jadi 88%
Inklusi keuangan tinggi namun literasi rendah bisa bahaya.
Jakarta, FORTUNE - Minat terhadap perbankan virtual atau bank digital terus meningkat dari tahun ke tahun. Consumer Payment Attitudes Study 2022 Visa yang dilakukan di Indonesia menemukan bahwa setidaknya 8 dari 10 konsumen menunjukkan ketertarikan untuk membuka rekening virtual bank, terutama kalangan affluent dan generasi muda.
“Minat terhadap virtual banking meingkat dari tahun ke tahun, yaitu 75 persen di 2020, 86 persen di 2021 hingga kini 88 persen di 2022," kata Head of Products and Solutions Visa Indonesia, Dessy Masri saat diskusi virtual di Jakarta, Senin (19/6).
Generasi muda dan kaum affluent tercatat paling berminat bank digital, dengan Gen Y dan kaum Affluent pada 93 persen dan Gen Z di 91 persen.
Peneliti: inklusi keuangan tak setinggi literasi bisa bahaya
Senada dengan temuan tersebut, Peneliti Ekonomi Digital dari Institute for Development of Economic and Financial (INDEF), Nailul Huda juga menyatakan bahwa digitalisasi keuangan merupakan suatu keniscayaan.
“Masyarakat sudah mulai malas untuk transaksi keuangan dengan secara fisik seperti pergi ke kantor cabang ataupun ke ATM. Kini, mereka cenderung lebih sering menggunakan online banking ataupun mobile apps,” tutur Huda.
Salah satu alasan tingginya minat terhadap perbankan digital adalah karena bisa bisa mengakses berbagai layanan secara digital tanpa harus pergi ke kantor cabang. Hal ini turut membantu masyarakat yang sebelumnya belum terlayani bank konvensional untuk lebih mudah membuat dan memiliki rekening bank, sehingga membantu inklusi keuangan.
Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2022 oleh OJK menunjukkan bahwa tingkat inklusi keuangan di Indonesia telah mencapai 85,10 persen. Namun, indeks literasi keuangan masih di angka 49,68 persen.
"Artinya, banyak orang yang memiliki akun bank, tapi tidak paham terhadap produk-produk keuangannya. Ini bisa berbahaya karena mereka jadi rentan terhadap penipuan. Dibutuhkan kolaborasi dari berbagai pihak untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat untuk mengurangi risiko tersebut,” papar Huda lagi.
Digital banking vs traditional banking pilih mana?
Masyarakat Indonesia terlihat sudah mengurangi penggunaan layanan keuangan di kantor cabang fisik. Menurut Huda, sekitar 60-70 persen masyarakat sudah tidak pernah ke cabang, sehingga ada tren penurunan jumlah kantor cabang bank. Di sisi lain, terdapat peningkatan transaksi di mobile banking.
INDEF juga mencatat, sekitar 30-50 persen orang mengkonsumsi layanan mobile banking sebanyak 7 hingga 10 kali dalam sebulan, bahkan bisa lebih dari 10 kali.
“Kita bisa melihat adanya pergeseran tren dalam memanfaatkan layanan keuangan. Pandemi ini menjadi akselerator. Ke depannya, dapat dipastikan penggunaan mobile banking atau mobile apps akan meningkat, didorong dengan adanya teknologi yang canggih,” jelas Huda.
Meskipun digital banking sangat disukai dan proses yang sepenuhnya digital, survei CPAS 2022 Visa menemukan bahwa bank tradisional masih menjadi yang terdepan sebagai pilihan bank utama masyarakat.
Hal ini karena alasan keamanan dan penilaian kredit di bank digital antara lain:
- 46 persen takut rekeningnya di-hack
- 39 persen khawatir akan terjadinya transaksi tidak sah atau penipuan
- 35 persen menghkawatirkan jaringan yang tidak stabil
Sementara itu, alasan populer untuk tetap memilih bank tradisional sebagai bank utama termasuk:
- 24 persen penilaian kredit menggunakan data keuangan alternatif
- 23 persen merasa uangnya aman disimpan di bank tradisional
- 21 persen merasa mendapatkan layanan pelanggan yang baik, dan pinjaman dapat diproses dan dicairkan lebih cepat.