LUXURY

Permintaan Barang Mewah Cina Lesu, Penjualan LVMH Q3 Turun 3%

Investor LVMH mulai gelisah dan khawatir.

Permintaan Barang Mewah Cina Lesu, Penjualan LVMH Q3 Turun 3%Toko Louis Vuitton di Champs-Élysées di Paris/Dok Marie Thérèse Hébert & Jean Robert Thibault/Wikimedia Commons)
16 October 2024

Jakarta, FORTUNE LVMH, raksasa Barang Mewah asal Prancis, melaporkan penurunan penjualan sebesar 3 persen pada kuartal ketiga tahun ini, meleset dari ekspektasi. Penurunan ini menjadi yang pertama sejak pandemi, terutama dipicu oleh melemahnya permintaan di pasar Cina dan Jepang, yang memperburuk kekhawatiran investor.

Melansir Reuters (16/10), LVMH mencatatkan pendapatan sebesar 19,08 miliar euro (sekitar US$20,8 miliar) selama tiga bulan yang berakhir pada September. Angka ini turun 3 persen secara organik setelah memperhitungkan dampak nilai tukar mata uang, akuisisi, dan divestasi.

Hasil ini tidak memenuhi proyeksi pertumbuhan organik sebesar 2 persen yang diperkirakan oleh Barclays. "LVMH meleset jauh dari ekspektasi dengan kegagalan di semua lini," kata Luca Solca, analis di Bernstein.

Laporan penjualan ini muncul di tengah ketidakstabilan saham perusahaan barang mewah, terutama setelah harapan pemulihan sementara akibat langkah-langkah stimulus di Cina. Namun, kepercayaan konsumen Cina anjlok ke tingkat terendah sejak era Covid19, menurut CFO LVMH Jean-Jacques Guiony. Meskipun demikian, perusahaan tetap percaya pada potensi pasar Cina di masa depan.

Tak hanya LVMH, penurunan penjualan ini juga tercermin di perusahaan Italia, Ferragamo, yang melaporkan hasil kurang memuaskan dan, memperburuk situasi pasar barang mewah. "Sebagai barometer untuk sektor ini, hasil LVMH kemungkinan akan menyebabkan volatilitas jangka pendek," ujar Flavio Cereda, co-manager dari strategi investasi merek mewah GAM.

Penjualan divisi mode dan barang kulit anjlok 5%

Divisi mode dan barang kulit LVMH, yang mencakup merek Louis Vuitton dan Dior, melaporkan penurunan penjualan 5 persen, jauh di bawah perkiraan pasar yang memprediksi pertumbuhan 4 persen.

"Divisi mode menunjukkan sedikit peningkatan di Eropa dan Amerika, tetapi performa lebih buruk di Cina dan Jepang," kata Guiony. 

Divisi ini menyumbang hampir setengah dari total pendapatan LVMH dan tiga perempat dari laba berulang. Di Asia (tidak termasuk Jepang), yang didominasi oleh pasar Cina, penurunan penjualan memburuk menjadi 16 persen, bertambah dari 14 persen pada kuartal sebelumnya.

Lonjakan pengeluaran pasca-pandemi yang sempat terjadi kehilangan momentum pada tahun lalu, ditambah krisis properti di Cina yang mempengaruhi kepercayaan konsumen. Harapan bahwa stimulus pemerintah akan membangkitkan kembali minat terhadap barang mewah belum terwujud.

Tak hanya di Cina, di Jepang pertumbuhan LVMH melambat tajam menjadi 20 persen dari 57 persen pada kuartal sebelumnya karena penguatan yen.

"Hasil ini menunjukkan perlambatan yang lebih tajam dari perkiraan," kata analis RBC, Piral Dadhania.

UBS Group AG, perusahaan perbankan investasi dan jasa keuangan, juga memperkirakan kuartal ketiga akan menjadi yang terburuk bagi sektor ini dalam empat tahun, dengan penurunan penjualan organik sebesar 1 persen secara tahunan.

Investor gelisah, berharap stimulus ekonomi Cina

Melihat situasi ekonomi Cina dan menurunnya permintaan barang mewah, investor LVMH mulai gelisah dan mengharapkan adanya tanda-tanda bahwa langkah-langkah stimulus fiskal baru di Cina.

Stimulus tersebut dapat menarik kembali minat belanja konsumen kaya dan kelas menengah untuk kembali membeli produk-produk mewah seperti tas kulit desainer senilai US$4.300 menjelang Singles Day, acara belanja terbesar tahunan di Cina. Investor berharap konsumen masih melirik merek-merek terkenal seperti Louis Vuitton dan Dior di sektor mode dan aksesori, perhiasan Tiffany & Co, serta kosmetik Sephora.

Menurut Bain & Company, penjualan global barang mewah pribadi—termasuk pakaian, aksesori, dan produk kecantikan—tahun ini diperkirakan hanya akan tumbuh datar hingga 4 persen lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Namun, perlambatan paling signifikan terlihat di Cina, di mana ketidakpastian ekonomi mengurangi minat belanja kelas menengah, sementara konsumen yang mampu membeli barang mewah lebih berhati-hati dalam memamerkan kemewahan.

Saham LVMH, bersama perusahaan mewah lainnya seperti Kering (pemilik Gucci), Hermes, dan Richemont (pemilik Cartier), mengalami fluktuasi signifikan sepanjang tahun ini.

“Konsumen barang mewah sudah terlalu banyak berbelanja,” ungkap analis dari Bank of America, mengutip Reuters (16/10). Mereka menyebutkan bahwa penurunan terbesar terjadi di kalangan konsumen Cina, yang sebelumnya menjadi pendorong utama pertumbuhan penjualan di paruh pertama tahun ini.

Bank of America juga memperkirakan kuartal ketiga akan menjadi yang terburuk bagi sektor barang mewah dalam empat tahun terakhir, dengan penurunan penjualan organik sebesar 1 persen secara tahunan. Selain itu, proyeksi laba per saham untuk tahun depan juga diturunkan sebesar rata-rata 17 persen.

Meskipun demikian, para analis optimistis bahwa konsumen Cina pada akhirnya akan kembali menunjukkan minat pada barang-barang mewah. Jefferies Group memprediksi bahwa pada 2025, permintaan dari konsumen Cina akan mengalami akselerasi yang signifikan.

LVMH juga terus berupaya memperluas pangsa pasarnya di Cina dengan memperkuat kemitraannya dengan Alibaba, memanfaatkan teknologi cloud dan kecerdasan buatan dari raksasa e-commerce tersebut. Selain itu, unit ritel perjalanan LVMH, DFS Group, tengah membangun kompleks belanja dan hiburan besar di Pulau Hainan yang bebas pajak di Cina.

Related Topics

    © 2024 Fortune Media IP Limited. All rights reserved. Reproduction in whole or part without written permission is prohibited.