Harga Kakao Berjangka Melonjak Hampir Sentuh Rp160 Juta per Ton
Dipicu pasokan kakao dunia yang mengalami defisit.
Fortune Recap
- Harga kakao berjangka mencapai US$10.080 per ton, turun menjadi US$9.622 karena defisit pasokan global.
- Tekanan terjadi di pasar keuangan akibat lindung nilai dan margin call atas kerugian derivatif.
- Kondisi pasokan terbatas di Afrika Barat, Brasil, dan Ekuador memicu situasi genting menurut Organisasi Kakao Internasional.
Jakarta, FORTUNE – Harga Kakao berjangka mencatat kenaikan tertinggi sepanjang sejarah mencapai US$10.080 atau sekitar Rp159,74 juta (kurs Rp15.847,72 per dolar AS) per ton, pada perdagangan Selasa (26/3), sebelum akhirnya ditutup lebih rendah pada level US$9.622.
Bloomberg melaporkan, bahwa kenaikan ini dipicu oleh memburuknya hasil panen para petani utama di Afrika Barat, sehingga pasokan tahunan dunia mengalami defisit. “Industri ini sedang bergulat dengan dampak buruknya pendapatan yang dibayarkan kepada petani kakao dan kekhawatiran yang meningkat mengenai kemampuan untuk mendapatkan biji kakao dalam jumlah yang cukup,” tulis media ini, seperti dikutip Rabu (27/3).
Tekanan juga terjadi di pasar keuangan, di mana beberapa pedagang telah menjual kontrak berjangka untuk melakukan lindung nilai terhadap kepemilikan fisik. Namun, saat menunggu jatuh tempo, pedagang membutuhkan uang tunai untuk memenuhi margin call atas kerugian derivatif di pasar yang sedang berkembang, dan membuat mereka terpaksa menutup posisi short sehingga mendorong terjadinya reli.
Sulit menyesuaikan
Analis Rabobank London, Paul Joules, mengungkapkan di posisi harga tersebut akan sulit melakukan penyesuaian harga.“Setiap kali pasar mengalami penurunan, pasar sepertinya langsung naik kembali, yang lebih berkaitan dengan iklan, mereka adalah net buyers,” katanya.
Sementara, para analis di Hightower Report, mengatakan bahwa pencapaian tinggi ini bisa memicu profit taking. “Karena aksi harga menjadi sangat tajam, dan para pedagang mungkin khawatir bahwa reli tersebut telah mencapai titik jenuh,” ungkap mereka.
Pasokan pun diperkirakan akan semakin sulit, mengingat ada aturan dari Uni Eropa yang bisa menghentikan penjualan produk-produk yang dianggap merusak hutan, seperti Kakao. “Situasi pasokan di Afrika Barat masih sangat terbatas menjelang dimulainya pertengahan panen minggu depan,” ujar Hightower Report.
Negara penghasil Kakao lain, seperti Brasil dan Ekuador tengah berupaya meningkatkan produksinya meski butuh beberapa tahun sebelum pohon Kakao yang baru ditanam bisa menghasilkan biji Kakao.
Hal ini dinilai turut mendukung terbatasnya pasokan global. Organisasi Kakao Internasional pun menggambarkan kondisi yang terjadi sebagai situasi genting, dengan rasio persediaan terhadap penggilingan yang turun ke level terendah, lebih dari empat dekade pada musim ini.
Tekanan
Menurut Bloomberg, harga Kakao yang tinggi bisa menekan keuntungan para produsen coklat. Ini menjadi kabar buruk bagi konsumen, karena produsen produk coklat bisa saja menaikkan harga produknya, atau menjual produk lebih kecil dan mengurangi kandungan coklat.
“Liburan Paskah yang semakin dekat adalah periode puncak konsumsi permen, dan kesenjangan antara pasar komoditas dan pasar ritel berarti dampak terberat bagi pembeli masih akan terjadi,” tulis Bloomberg.
Indonesia tercatat merupakan negara produsen Kakao terbesar ketiga di dunia, dengan total produksi mencapai 667.296 ton pada tahun 2022, menurut data World Population Review.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2018-2022, lima negara tujuan ekspor Kakao Indonesia terbesar adalah India, Amerika Serikat,Malaysia, Cina, dan Australia.
Meski demikian, Indonesia ternyata juga melakukan impor dari sejumlah negara, seperti Malaysia, Singapura, Ekuador, Pantai Gading, dan Nigeria.