Harga Minyak Mentah Turun Setelah Alami Reli
Sebelumnya, harga minyak naik hingga US$80 per barel.
Jakarta, FORTUNE – Setelah 5 sesi berturutan mengalami kenaikan hingga US$80 per barel, harga minyak merosot pada akhir perdagangan Selasa (28/9). Padahal, puncak kenaikan yang terjadi sebelumnya adalah yang pertama terjadi dalam tiga tahun terakhir. Diduga, penyebab penurunan ini adalah aksi pengambilan keuntungan oleh para investor.
Mengutip Antara News (29/9), minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman November melemah 44 sen atau 0,6 persen. Harga pun turun dari US$80,75 per barel menjadi US$79,09 per barel. Sedangkan, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) turun 16 sen atau 0,2 persen menuju US$75,29 per barel dari posisi sebelumnya di US$76,67 per barel.
Presiden konsultan Lipow Oil Associates, Andrew Lipow, mengatakan terdapat cukup banyak profit taking, karena minyak mentah baru saja mengalami kenaikan harga yang luar biasa. "Kami mungkin memiliki sedikit jeda di sini karena pasar mengevaluasi seperti apa dinamika penawaran dan permintaan," kata Lipow.
Sependapat dengan Lipow, Analis Fujitomi Securites, Toshitaka Tazawa, mengatakan bahwa pasar minyak mengambil nafas sejenak setelah reli panjang, sejumlah investor pun meraup untung atas kenaikan lalu.
Selain itu, menurut Tazawa, kekhawatiran kenaikan harga minyak berpotensi mengurangi permintaan bahan bakar. "Sentimen pasar masih tetap kuat dengan adanya pasokan yang lebih ketat," ujarnya seperti dilansir dari Reuters (28/9).
Ini kondisi “Double Top”
Senior Business Manager Royal Trust Futures, Suluh Adil Wicaksono, berpendapat bahwa dilihat dari sisi grafik teknisnya, penurunan harga minyak mentah, baik WTI maupun Brent, menunjukkan double top. Pola ini menjadi indikator untuk pembalikan menurun (bearish) karena sering terjadi setelah kenaikan (bullish) yang berkepanjangan.
“Meski demikian, yang menjadi penggerak harga tetap fundamental, dimana kenaikan kemarin disebabkan demand recovery dan supply terganggu,” ujar Suluh kepada Fortune Indonesia, Rabu (29/9).
Menurutnya, penurunan saat ini lebih dikarenakan fundamental ekonomi Tiongkok yang merupakan negara importir minyak terbesar ke-2 di dunia setelah Amerika Serikat (AS) mengindikasikan pelemahan permintaan terhadap minyak mentah.
Dampak penurunan bagi Indonesia
Suluh Adil mengatakan, penurunan harga minyak mentah dunia ini tentu berdampak keuntungan ke Indonesia. Namun, Indonesia tidak menetapkan harga turunan minyak secara harian, melainkan hitungan rerata per periode tertentu. “Jadi, jika penurunan hanya sementara dan tidak tajam, tentunya tidak terlalu signifikan benefitnya bagi Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memperkirakan bahwa permintaan minyak akan tumbuh tajam dalam beberapa tahun ke depan karena ekonomi pulih dari pandemi. Namun, dunia perlu terus berinvestasi dalam produksi untuk mencegah krisis, sekalipun saat melakukan transisi ke bentuk energi lebih bersih.
“Minggu depan akan ada pertemuan OPEC+ yang masih akan tetap menjaga pasokan minyak secara ketat. Jika permintaan naik dan diiringi pemulihan ekonomi global, maka kemungkinan negara-negarai ini akan menaikkan kuota produksinya,” ucap Suluh Adil.
Kalau di dalam negeri, ucap Suluh, seharusnya produksi sudah bisa mencukupi sebagian kebutuhan luar negeri. Selebihnya, Indonesia juga masih mengimpor minyak mentah.
Prediksi beberapa waktu ke depan
IDX Channel menulis bahwa Goldman Sachs memprediksi harga minyak dunia dapat meningkat US$10 menjadi US$90 per barel, khususnya jenis Brent. Hal ini dapat terjadi dengan analisa bahwa pasokan global menjadi lebih ketat karena munculnya varian baru Covid-19 serta dampak badai di AS.
Menanggapi prediksi ini, Suluh mengatakan kepada Fortune Indonesia bahwa perdagangan minyak mentah ke depannya akan lebih menarik selama energi terbarukan lainnya belum terlalu bisa diserap dan masih dalam masa pengembangan.
“Menarik juga setelah Tiongkok mengumumkan untuk tidak menggembangkan lagi tenaga listrik berdasar batu bara. Hal ini bisa jadi booster untuk kenaikan minyak mentah. Sangat jauh ke depannya, tentu akan ada batas dimana perubahan iklim akan mendesak penggunaan energi terbarukan yg lebih ramah lingkungan,” ujar Suluh.