Skema Merger Pelita dan Citilink ke InJourney Diputuskan Januari 2024
Merger dilakukan untuk mengejar efisiensi.
Jakarta, FORTUNE - Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan mekanisme merger antara PT Citilink Indonesia dan PT Pelita Air Service (PAS) akan diputuskan pada Januari 2024.
Saat ini, Kementerian BUMN selaku pemegang saham Garuda Indonesia, induk Citilink, masih membahas sejumlah opsi penggabungan tersebut bersama manajemen PT Aviasi Pariwisata Indonesia (InJourney) dan PT Pertamina (Persero) selaku pemegang saham Pelita.
"Kami masih pertimbangkan dua konsep, apakah [Pelita] akan masuk ke Garuda lalu ke InJourney atau langsung masuk ke InJourney," ujarnya saat ditemui di Menara Danareksa, Jumat (29/12).
Nantinya Garuda, Citilink, dan Pelita akan terintegrasi menjadi subholding aviasi di bawah InJourney. Namun, sebelum itu, Garuda akan menjual sebagian sahamnya kepada InJourney tahun ini.
Meski begitu, penjualan saham Garuda baru bisa dilakukan setelah neraca keuangan maskapai tersebut sehat. Salah satunya dengan mengubah mekanisme leasing atau sewa pesawat Garuda.
"Harapannya dengan melakukan perubahan mekanisme leasing ini Garuda bisa positive equity. Ini yang sedang kami kerjakan. Lalu setelah positive equity dengan Citilink, rencananya kami akan memasukkan sebagian sahamnya ke InJourney. Berarti tunggu setelah neracanya sudah lebih rapi dulu setelah proses perubahan kontrak dengan model ijarah," kata Tiko.
Yang pasti, Tiko mengatakan branding Garuda Indonesia sebagai maskapai superpremium takkan berubah. Begitu pula Citilink yang akan menyasar segmen low-cost carrier.
"Pelita kami posisikan sebagai medium airlines. Jadi, kalau lihat perkembangannya secara positif. Pelita sekarang sudah positif. Garuda pun akhir tahun ini insya Allah bisa membukukan keuntungan hasil restrukturisasi kemarin," katanya.
Kejar efisiensi
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir menjelaskan bahwa langkah merger Citilink dan Pelita diambil guna mengejar efisiensi. Merger tersebut merupakan lanjutan program efisiensi BUMN yang sebelumnya telah dilakukan Kementerian BUMN terhadap Pelindo pada 2021.
"BUMN terus menekan logistic cost. Pelindo dari empat (perusahaan) menjadi satu. Sebelumnya, logistic cost mencapai 23 persen, sekarang jadi 11 persen. Kami juga upayakan Pelita Air, Citilink, dan Garuda merger untuk menekan cost," kata Erick dalam keterangan pers pada Agustus tahun lalu.
Erick mengatakan Indonesia masih mengalami kekurangan sekitar 200 pesawat. Perhitungan tersebut diperoleh dari perbandingan yang dibuat antara kondisi di Amerika Serikat dan Indonesia.
Misalnya, di Amerika Serikat telah ada 7.200 pesawat untuk melayani rute domestik. Jumlah populasi di negeri tersebut lebih dari 300 juta dengan rata-rata pendapatan per kapita mencapai US$40.000 per tahun.
Sementara, Indonesia memiliki 280 juta penduduk yang memiliki rata-rata pendapatan per kapita US$4.700 per tahun. Artinya, lanjut Erick, Indonesia membutuhkan 729 pesawat. Namun, Indonesia baru memiliki 550 pesawat.