Emiten di 3 Sektor Ini Terkena Dampak Larangan Ekspor CPO
Emiten sektor perkebunan hingga perunggasan terkena imbas.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah akan melarang ekspor CPO (Crude Palm Oil) dan minyak kelapa sawit mentah sementara mulai Kamis (28/4). Sejumlah emiten di berbagai sektor pasar modal pun terkena efek domino dari kebijakan ini.
Dalih implementasi kebijakan itu bervariasi. Dari menambah pasokan minyak goreng (migor) domestik dengan harga terjangkau, hingga usaha pemerintah menjaga inflasi tetap terkendali.
Di saat bersamaan, keputusan itu pun bakal memukul ekspor dan neraca perdagangan. Karena itu, Head of Equity Research BRI Danareksa Sekuritas, Helmy Kristanto berharap kebijakan itu hanya bersifat sementara.
Menurutnya, penerapan kebijakan itu secara jangka panjang akan menjadi tantangan tersendiri. Sebab, disinsentif harga domestik yang lebih rendah akan menyebabkan hasil yang lebih kecil pula.
“Kami mengharapkan perbaikan mekanisme regulasi dan penegakan kebijakan untuk menjaga stabilitas harga migor domestik dan terjangkau dalam jangka menengah,” ujar Helmy dalam risetnya, Senin (25/4).
Efek domino larangan ekspor minyak sawit dan CPO
Ada sejumlah dampak dari kebijakan larangan ekspor minyak sawit mentah dan produk turunannya, yakni:
1. Gangguan rantai pasokan untuk sementara waktu
2. Penurunan harga minyak goreng domestik
Ini akan membantu mengurangi tekanan inflasi yang meningkat. Sebab, Helmy menambahkan, penyesuaian harga eceran migor yang melonjak jadi salah satu katalis pendongkrak harga bahan pangan.
“Studi sensitivitas kami menunjukkan, setiap penurunan 1 persen harga migor bakal menghasilkan penurunan inflasi 0,15 persen,” jelasnya.
3. Defisit perdagangan
Minyak sawit termasuk salah satu ekspor nirmigas utama, dengan kontribusi 11,5 persen terhadap total ekspor pada 2021. Rata-rata nilainya US$2,2 miliar per bulan. Tahun ini, GAPKI memproyeksikan total ekspor CPO sejumlah 33,2 juta ton—menurun 3 persen (YoY).
Helmy menilai, dampak defisit perdagangan akan kian naik akibat peningkatan impor karena aktivitas ekonomi yang lebih kuat. Namun, cadangan devisa tetap solid di level US$139 miliar per Maret 2022.
“Prospek defisit perdagangan yang naik berpotensi melahirkan tekanan ST negatif terhadap mata uang,” imbuhnya.
4. Pengaruhi kebijakan moneter
Pada pertemuan Bank Indonesia terakhir, bank sentral memutuskan menjaga tingkat suku bunga acuan guna menjaga stabilitas harga pangan sekaligus momentum pertumbuhan ekonomi.
Jika kebijakan larangan ekspor berhasil menekan inflasi, maka BI berpotensi mempertahankan sikapnya saat ini. Namun, Helmy memproyeksikan dua kenaikan suku bunga terjadi pada semester dua 2022.
Sektor perkebunan, konsumen, dan perunggasan terdampak
Secara khusus, larangan ekspor minyak sawit berisiko mengakibatkan kelebihan pasokan CPO dan minyak goreng dalam negeri. Dus, hal itu akan berdampak pada harga Tandan Buah Segar (TBS) bagi para petani.
Apabila larangan disetop, BRI Danareksa Sekuritas mengantisipasi lonjakan permintaan CPO Indonesia sebagai usaha mengamankan pasokan; guna bersiap hadapi perubahan aturan ke depannya. Tak ayal, itu akan mendongkrak harga CPO ke atas level sebelum penerapan larangan ekspor.
“Semua perusahaan di sektor perkebunan (AALI, LSIP, DSNG, dan SSMS) akan terkena dampak negatif dari larangan ekspor, walau bersifat sementara,” kata Helmy.
Di sisi lain, harga CPO domestik yang lebih rendah yang berujung pengurangan biaya input akan menguntungkan emiten sektor konsumen. MYOR akan mendapat eksposur tertinggi (17 persen dari COGS), disusul oleh ICBP (13 persen) dan UNVR (11 persen).
Helmy berujar, “Situasi itu akan meningkatkan prospek margin. Lalu, dengan prospek inflasi yang lebih terkendali, daya beli akan tetap kuat untuk mendukung konsumsi yang lebih tinggi.”
Di sektor perunggasan, berkurangnya pasokan CPO bakal mengerek harga minyak nabati—subtitusi minyak sawit—termasuk kedelai. Kelangkaan minyak goreng akan meningkatkan penghancuran kedelai sehingga produksi tepung naik dan mengurangi harga.
Buktinya, sejak pengumuman larangan CPO, harga bungkil kedelai sudah turun 2,5 persen. Maka dari itu, emiten sektor unggas akan merasakan dampak positif, karena bungkil kedelai menyumbang 20–25 persen dari total komposisi pakan.
“Kami percaya ini akan mengurangi sejumlah tekanan pada margin yang didorong oleh kenaikan harga jagung dan gandum,” imbuh Helmy lagi.