Mengorek Prospek BUKA dan GOTO di 2024: Cerah atau Merah?
Apa sentimen yang harus diperhatikan di sektor teknologi?
Jakarta, FORTUNE - Di tengah peluang penurunan suku bunga acuan The Fed pada 2024, bagaimana proyeksi saham-saham sektor teknologi seperti PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO)?
Research Analyst Mirae Asset Sekuritas Indonesia (MASI), Christopher Rusli menilai, emiten-emiten teknologi akan merasakan dampak positif dari peluang terjadinya tren penurunan suku bunga global itu. Sebab, hal itu dapat mendongkrak daya beli sehingga akan menggenjot kinerja tiap emiten di sektor teknologi.
"Semalam, FOMC meeting juga membuka peluang memangkas suku bunga acuan tiga kali pada 2024, dengan angka suku bunga acuan di Amerika Serikat (AS) sekitar 4,5 persen-4,75 persen. Kondisi itu membuat kami jadi lebih confident dengan sektor teknologi," kata Christopher dalam acara Media Day MASI, Kamis (14/12).
Lebih lanjut, proyeksi kondisi makro itu membuat Perusahaan Teknologi dan keuangan digital berpotensi membukukan EBITDA disesuaikan (adjusted EBITDA) positif dalam beberapa tahun ke depan. Dengan catatan: tren penurunan suku bunga terealisasi pada akhir 2024.
Adapun, adjusted EBITDA merupakan laba sebelum beban bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) disesuaikan dengan mengecualikan hitungan dari pendapatan yang tak berkelanjutan (non-recurring), tak biasa, dan hanya satu waktu. Hitungannya umum dipakai dalam membandingkan sejumlah perusahaan dengan bisnis beragam, tapi industrinya sama.
Soroti saham GOTO dan BUKA
Dua saham sektor teknologi yang disoroti oleh MASI, yakni: GOTO dan PT Bukalapak.com Tbk (BUKA).
BUKA akan memperoleh manfaat dari ekspansi di segmen specialty verticals dan O2O (online to offline) lewat program Mitra Bukalapak. Segmen specialty verticals akan menjadi kunci BUKA untuk meraih profitabilitas karena take rate yang lebih besar dari segmen e-commerce. Adapun, take rate adalah komisi atau biaya yang dikenakan oleh pasar atas transaksi yang dilakukan oleh penyedia layanan.
"E-commerce itu take rate-nya cuma 3-4 persen. Tapi, bisnis-bisnis specialy verticals BUKA, take rate-nya bisa dua kali lipat, sekitar 8-9 persen. Makanya lebih efektif," kata Christopher.
Adapun, bisnis-bisnis yang menjadi bagian dari segmen specialty verticals BUKA, terdiri dari: Goats, Itemku, Kingkong, dan Allo Fresh.
Sementara itu, GOTO dipilih karena telah mereduksi liabilitas sekaligus meningkatkan sumber pendapatan dengan take rate lebih baik. Itu berkat kenaikan kontribusi dari bisnis GoTo Financial dan GoTo Logistics.
Ditambah dengan kemitraan strategis antara GOTO dan TikTok, yang juga mencakup pembelian 75 persen saham Tokopedia oleh TikTok. "Manfaatnya, GOTO pun menguasai pangsa pasar (40 persen), karena menggabungkan milik Tokopedia (35 persen) dan TikTok Shop (5 persen). Jadi bisa berkompetisi dengan Shopee," jelasnya.
Selain itu, ia mengatakan, dengan kemitraan strategis tersebut, GOTO tak harus menanggung biaya besar dari bisnis e-commerce lagi. Dana investasi yang diperoleh dari TikTok juga bisa disalurkan ke bisnis lain seperti logistik ataupun keuangan.
"Cadangan kasnya pun mencapai sekitar Rp37 triliun-Rp38 triliun dengan penambahan itu. Setiap kuartal, GOTO ini burn sekitar Rp1 triliun. Secara kasar, bisa burning sampai 38 kuartal. Jadi tak masalah," imbuh Christopher.
Namun, ada faktor risiko yang harus diperhatikan, di antaranya: dilusi saham hingga 75 persen, valuasi yang menurun setelah investasi, dan sulitnya sinergi antara Tokopedia dan TikTok.
MASI membidik target harga Rp240 untuk BUKA dan Rp94 untuk GOTO.