Rally Pekan Ini, Saham Apple Diprediksi Bisa Naik 30% Lagi
Sepanjang 2023 saham Apple sudah naik 46 persen.
Jakarta, FORTUNE - Saham Apple Inc. berpeluang naik 30 persen lagi menurut Citigroup Inc., seiring dengan peningkatan harga ke rekor tertinggi hingga menyentuh valuasi US$3 triliun.
Sepanjang tahun ini, saham Apple telah naik 46 persen dan ditutup di US$189,59 atau rekor tertingginya pada Kamis (29/6) waktu New York. Melansir Economic Times, Analis Citigroup, Atif Malik menetapkan target harga US$240 untuk saham Apple. Itu target tertinggi di antara para analis Wall Street.
Malik menilai, para analis terlalu meremehkan potensi ekspansi margin kotor lanjutan di Apple berkat pergeseran minat ke iPhone kelas premium. Ditambah dengan katalis dari perolehan pangsa pasar Apple di Cina dan India.
“Perusahaan menavigasi perlambatan makro dan tekanan inflasi pada belanja konsumen dengan konsisten mengambil pangsa pasar dari ponsel Android,” tulisnya, dilansir Jumat (30/6).
Sekitar 68 persen analis menyoroti rally saham Apple dan merekomendasikannya. Tapi, persentase itu jauh di bawah saham teknologi berkapitalisasi besar lainnya. Microsoft corp. Dan Alphabet Inc. mendapat rekomendasi dari 84 persen. Sementara itu, Amazon.com Inc. mendapat penilaian serupa dari 94 persen analis di Wall Street.
Ekosistem AI Apple dan prospeknya
Analis Wedbush, Daniel Ives, menargetkan harga US$220 untuk Apple. Ia memandang prospek Apple masih bullish dan berpeluang meraih valuasi US$4 triliun pada tahun fiskal 2025. Itu berkaitan dengan potensi ekosistem kecerdasan buatan (artificial intelligence) Apple.
“Vision Pro dan App Store dapat menjadi langkah pertama dalam upaya Apple membangun ekosistem aplikasi AI generatifnya,” ujarnya, dilansir dari Benzinga.
Akan tetapi, Direktur Pelaksana Cleo Capital memiliki pandangan berbeda dari Malik dan Ives. Menurutnya, kenaikan signifikan saham Apple pekan ini belum banyak didukung oleh faktor fundamental walaupun perusahaan itu tergolong hebat dan besar.
“Apakah orang akan exit setelah valuasi melewati ambang US$3 triliun itu? Sebelum Vision Pro diperkenalkan? Sebelum mereka memastikan apakah orang-orang menginginkan VR atau tidak?” Katanya dalam acara Last Call, dilansir dari CNBC International. “Saya tak yakin kita sudah punya jawaban untuk itu.”