Saham Anjlok, Problem Starbucks Tak Hanya Aksi Boikot
Tapi juga inefisiensi dan ketersediaan produk.
Fortune Recap
- Saham Starbucks merosot hampir 16 persen setelah kinerja buruk di awal tahun, dengan pendapatan konsolidasi menurun 1 persen.
- Problematika Starbucks tidak hanya terdampak boikot, tapi juga inefisiensi di kalangan pelanggan setia yang memesan kopi melalui aplikasi.
- Starbucks akan merilis 'sistem sirene' dan meningkatkan ketersediaan pasokan untuk mengatasi ketidakselarasan pesanan dan pembatalan pesanan karena ketersediaan produk.
Jakarta, FORTUNE - Saat massa bergemuruh memperingati Hari Buruh Internasional pada 1 Mei lalu, Saham milik jaringan kopi raksasa Amerika Serikat (AS), saham Starbucks 'kebakaran'. Kinerja buruk di awal tahun biang keroknya.
Berdasarkan data historis, harga saham Starbucks mendadak merosot hampir 16 persen dari level US$88,49 menjadi US$74,44. Tak heran, sebab dalam pengumuman kinerja terbaru, Chief Executive Officer (CEO) Starbucks, Laxman Narsimhan, membawa kabar buruk bagi para pemangku kepentingan.
"Biar saya perjelas dari awal. Kinerja kami pada kuartal ini mengecewakan dan tidak memenuhi ekspektasi kami," kata Narasimhan dalam earning calls kuartal II, dikutip dari Fortune.
Pendapatan konsolidasi Starbucks menurun 1 persen (YoY) menjadi US$8,6 miliar. Itu karena comparable store sales yang melemah 4 persen akibat transaksi lebih rendah. Margin operasi konsolidasi Starbucks juga menyusut 140 basis poin jadi 12,8 persen akibat deleverage, upah mitra, serta investasi manfaat dan kegiatan promosi.
Bahkan, laba per saham pun tertekan 7 persen (YoY) menjadi US$0,68. "Utamanya karena kontaksi pendapatan operasional di segmen Amerika Utara dan internasional sebagai akibat menurunnya pendapatan," kata Chief Financial Officer Starbucks, Rachel Ruggeri dalam kesempatan yang sama.
Tak hanya terdampak boikot
Problematika Starbucks tak hanya aksi boikot yang menimpanya beberapa waktu belakangan.
Memang, bisnis internasionalnya cukup terdampak oleh aksi kolektif tersebut, sampai menekan comparable store sales sebesar 6 persen. Selain karena penurunan transaksi, pendapatan di bisnis internasional Starbucks juga terdampak oleh berkurangnya pendapatan toko berlisensi, utamanya karena dampak negatif terhadap bisnis perusahaan di Timur Tengah.
Namun, di negara asalnya, bukan masalah itu yang disoroti oleh Narasimhan, melainkan inefisiensi. Ia bercerita perihal fenomena yang terjadi di kalangan para pelanggan setia Starbucks, yang memesan kopi di aplikasi, tapi mengabaikannya kemudian. Padahal, lebih dari 60 persen 'bisnis di pagi hari' Starbucks berasal dari member program loyalitas pengguna aplikasi.
"Meskipun penjualan pesanan dan pembayaran seluler menguat, kami melihat tingkat ketidakselarasan pesanan mencapai belasan persen dalam saluran pesanan ini pada kuartal terakhir," katanya.
Yang berarti satu: pelanggan loyal yang menggunakan aplikasi memesan kopi ke keranjang digitalnya, tapi melupakannya karena alasan waktu tunggu yang lama dan ketersediaan produknya. Ia mengibaratkan, ada 1 di antara 7 atau 8 pelanggan yang memilih membatalkan pesanan karena dua alasan itu. Maklum, pembeli kopi di pagi hari (terutama pekerja) memang membutuhkan efisiensi waktu tunggu.
Untuk mengatasi itu, ada sejumlah langkah yang akan Starbucks lakukan demi meningkatkan efisiensi. Pertama: merilis 'sistem sirene' yang mencakup mesin minuman dengan dispenser es dan susu khusus serta serangkaian blender yang mudah dijangkau oleh satu barista. Itu juga akan dikombinasikan dengan penambahan ketersediaan pasokan.
"Alasan lain pelanggan memilih membatalkan pesanan adalah ketersediaan produk," kata sang CEO. "Misal, kentang, cheddar, dan kucai kami yang sangat diminati. Namun permintaannya sangat besar sehingga saat ini kami hanya bisa tawarkan di 2.000 toko di AS."