Daya Tarik ESSA Usai TP Rachmat dan Boy Thohir Mundur dari Komisaris
ESSA baru mengganti beberapa dewan komisaris dan direksi.
Jakarta, FORTUNE - Konglomerat TP Rachmat dan Boy Thohir resmi mengundurkan diri dari jajaran dewan komisaris PT Surya Esa Perkasa Tbk (ESSA) pada pekan lalu. Putra TP Rachmat, Arief Permadi Rachmat pun mengisi posisi Komisaris ESSA yang baru. Lantas seperti apa prospek kinerja ESSA ke depan?
Perpindahan tongkat estafet itu dinilai bisa menjadi babak awal di tengah rencana ESSA menjajaki bisnis baru, di bidang amonia biru—sumber energi terbarukan (EBT) atau ramah lingkungan. Dengan Dewan Komisaris baru, perusahaan membidik potensi perluasan bisnis baru.
Mengacu kinerja keuangan 2021, ESSA berhasil membalikkan kerugian US$19,13 juta menjadi laba bersih senilai US$13,97 juta berkat kenaikan ASP amonia (+98,7 persen, yoy) dan ASP LPG (+59,5 persen, yoy).
Dengan kinerja cukup baik ini, seberapa yakin ESSA bisa kembali mencetak performa pada tahun ini?
Potensi bisnis amonia biru ESSA
Emiten yang 23,10 persen sahamnya dikuasai oleh PT Trinugraha Akraya Sejahtera ini berniat mengonversi pabriknya menggunakan amonia biru, dengan tujuan menekan emisi karbon.
Untuk memuluskan rencana ini, ESSA sudah menyetujui MoU dengan Japan, Oil, Gas and Metal National Corporation (JOGMEC), Mitsubishi Corporation, dan ITB. Perseroan menargetkan akan merampungkan modifikasi pabrik pada 2024.
Sebagai catatan, amonia biru merupakan hidrogen biru yang berasal dari bahan baku gas alam, dengan produk sampingan karbon dioksida dari hidrogen yang ditangkap dan disimpan.
Sumber energi itu diyakini dapat menjadi alternatif lebih bersih untuk sektor transportasi karena mudah diangkut dan disimpan, serta memiliki nol emisi selama pembakaran. Selain itu, amonia biru juga bisa dinyalakan sekaligus di pembangkit listrik tenaga batu bara dan mesin diesel, mengutip riset BRI Danareksa Sekuritas.
Sudah ada pasar yang siap membeli amonia biru, yakni Jepang. Ditambah lagi, Organisasi Maritim Internasional dan IMF telah menunjukkan minat mengurangi emisi gas dan karbon secara keseluruhan.
Belum lama ini, Negeri Sakura berkomitmen membeli 2 juta ton amonia biru. “Dan berpotensi meningkatkan (pembelian) menjadi 5 juta ton pada 2030 karena bertujuan menjadi negara bebas karbon pada 2050,” tulis Analis BRI Danareksa Sekuritas, Ignatius Teguh Prayoga dalam risetnya, dikutip Selasa (22/2).
Sedikit informasi, saat ini 80 persen produk ESSA adalah amonia dan grey amonia masih mendominasi bahan baku di bisnis hilir. Unsur itu bisa diolah menjadi macam-macam produk, antara lain: pupuk, pestisida, serta plastik.
Ekspektasi kenaikan permintaan LPG dan amonia
Selain berhasil membalikkan kerugian menjadi laba, ESSA juga membukukan pendapatan senilai US$303,4 juta pada 2021; melonjak 72,88 persen dari 2020, yakni US$175,5 juta.
Namun, karena pemeliharaan terjadwal pada Oktober hingga Desember 2021, produksi amonia ESA turun 14,2 persen menjadi 566 ribu metrik ton. Produksi LPG pun stagnan. Ditambah dengan adanya biaya refinancing, NPM tampak lebih rendah dari 2017–2018.
Di sisi lain, perang Rusia dan Ukraina diprediksi memberi dampak terhadap rata-rata harga jual (average selling price/ASP) komoditas amonia dan LPG (Liquefied Petroleum Gas) tidak stabil pada 2022. Sebab, dari sektiar 20 juta ton amonia nirpupuk yang dijual secara global, Rusia memasok ~4 juta ton. Di sisi lain, ESSA berkontribusi 0,7 juta ton terhadap penjualan tersebut.
Ignatius menambahkan, “Karena pemeliharaan turnaround sudah ESSA selesaikan dengan baik dan pabrik kembali beroperasi, manajemen yakin dapat melanjutkan kinerja yang baik, seiring pemulihan ekonomi global.”
Pada perdagangan Selasa (22/3), saham ESSA terpantau menguat 2,98 persen; melanjutkan tingkat kenaikan mingguan yang mencapai 16,89 persen. Dalam enam bulan terakhir, harga ESSA bahkan sudah meroket 182,68 persen.
Sepanjang 2022 saja, saham perusahaan telah menguat bertahap sebesar 66,35 persen.