Jakarta, FORTUNE - Para pelaku usaha dan industri tekstil di Jawa Barat (Jabar) terancam berhenti berproduksi karena terkena imbas praktik predatory pricing pada platform social commerce.
Praktik predatory pricing tersebut secara nyata mulai dirasakan khususnya oleh para pelaku usaha tekstil yang mengalami penurunan permintaan sehingga menekan omzet bahkan lebih lanjut berdampak pada penurunan produksi dan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi pegawai UMKM.
Dengan kondisi tersebut, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM), Teten Masduki, mengatakan penurunan produksi terus terjadi hingga beberapa pabrik tak mampu lagi bertahan untuk terus berproduksi.
"Kami bersama para pelaku industri pakaian jadi dan tekstil membahas tentang hal ini dan memang ada penurunan yang cukup drastis karena pelaku UMKM yang memproduksi pakaian muslim, kerudung, pakaian jadi yang dijual di pasar grosir seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir terpantau anjlok. Akibatnya permintaan terhadap pakaian, kain, dan tekstil menurun drastis," kata Teten dalam kunjungan ke beberapa pabrik tekstil di Majalaya, Bandung, seperti dikutip dari keterangan yang dikutip Senin (25/9).
Teten mengatakan, produk para pemain industri itu kalah bersaing bukan karena kualitas, tetapi karena harga.
"Saya mendapat informasi ada indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali. Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar yang sangat murah," ujarnya.
Lemahnya penjagaan terhadap produk tekstil
Menurut Teten, hal itu terjadi juga karena didorong adanya aturan safeguard yang tidak berjalan dengan semestinya.
Dia mendesak Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk segera mengesahkan perubahan Permendag 50 Tahun 2020.
"Sebab sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu),” ujarnya.
Teten juga merasa perlu ada HPP khusus pada produk tekstil. Sebab di Cina sendiri, mereka menerapkan model barang masuk di sana tidak boleh di bawah HPP. "Kalau kita terapkan itu, bisa melindungi industri dalam negeri," katanya.
Cina lemahkan tekstil Indonesia
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, mengatakan saat ini perdagangan global memang sedang tidak baik-baik saja. Banyak barang produksi Cina, negara yang merupakan produsen atau manufaktur besar dunia, tidak terserap di negara-negara besar seperti di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa. Mereka pun berusaha mencari pasar baru dengan trade barrier lemah
"Jangan sampai Indonesia hanya dijadikan market, karena Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar nomor empat dunia. PDB kita masih lebih baik dan inflasi Indonesia cukup terkontrol dibanding negara lain. Tak heran Indonesia dibidik menjadi salah satu pangsa pasar. Jika tidak pintar-pintar memasang trade barrier, ekosistem ini akan hancur berimbas ke hulu," katanya.