Jakarta, FORTUNE – Negara-negara anggota forum Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) mendukung usulan pemerintah Indonesia untuk memasukkan isu mineral kritis atau critical minerals sebagai pembahasan dalam agenda IPEF untuk Pilar I atau perdagangan.
Ambassador Katherine Tai dari United States Trade of Representative (USTR), mengatakan bahwa Amerika Serikat (AS) ingin mendalami isu critical minerals dalam perundingan Pilar I di IPEF. Pemerintah AS berharap bisa mewujudkan ketersediaan mineral kritis antarnegara anggota IPEF. Forum ini merupakan pertemuan tingkat menteri antara 14 negara yang mewakili lebih dari 40 persen ekonomi dunia dan 28 persen perdagangan barang dan jasa global.
Duta Besar Republik Indonesia (RI) untuk AS, Rosan Perkasa Roeslani, mengatakan critical minerals sangat penting bagi Indonesia, mengingat Indonesia adalah negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. “Indonesia dapat menjadi mitra strategis Amerika Serikat dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik,” katanya seperti dikutip Antaranews, Minggu (28/5).
Topik critical minerals banyak disorot beberapa waktu terakhir. Beberapa negara anggota–termasuk Indonesia–bermaksud mengembangkan rantai pasok global di kawasan Indo-Pasifik, demi pertumbuhan ekonomi dan keamanan energi. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan critical minerals?
Pengertian
Menurut Americangeosciences, critical minerals merupakan komoditas sumber daya mineral yang sangat penting di satu masa, namun terancam oleh gangguan pasokan karena berbagai alasan, seperti kepentingan prekonomian negara dan keamanan nasional. Oleh karena itu, berbagai elemen mineral bumi ini seringkali dianggap jarang dan kritis keberadaannya.
Status critical minerals tidak selamanya bertahan. Kepentingan komoditas mineral dan sifat rantai pasokannya yang seiring waktu berubah sedemikian rupa, bisa membuat komoditas mineral yang dianggap kritis 25 tahun yang lalu, tidak kritis lagi beberapa tahun setelahnya.
Dengan perkembangan teknologi dan pemanfaatan energi ramah lingkungan–seperti untuk kendaraan listrik–membuat beberapa mineral menjadi komoditas yang mulai dianggap kritis dan berpotensi diperebutkan banyak negara, terutama dalam pemenuhan ekonomi dan kualitas hidup masing-masing penduduknya.
Pentingnya mineral kritis
World Economic Forum (WEF) mengatakan mineral seperti nikel, litium, kobalt, grafit, mangan, dan beberapa mineral lainnya, akan semakin diincar dan masuk berbagai agenda geopolitik. Perlombaan ekosistem baterai global, yang didorong oleh kemunculan kendaraan listrik (EV), sudah mulai memunculkan situas kritis. Itu sebabnya negara-negara harus mulai duduk bersama dan mencari solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan.
Ketidakseimbangan permintaan pasokan, terutama untuk litium, telah menciptakan keterputusan bahan mentah yang luar biasa antara pabrikan besar bangunan dan EV – dan mereka yang menambang elemen-elemen penting ini untuk mengambil manfaatnya. Komoditas tradisional telah menempati tahap kedua
Kini, baterai lithium-ion dan input bahan baku khususnya telah menjadi pusat perhatian dalam kebijakan. Teknologi energi bersih seringkali membutuhkan mineral yang lebih kritis daripada teknologi tradisional. Mobil listrik menggunakan mineral lima kali lebih banyak daripada kendaraan dengan BBM, atau pembangkit listrik tenaga angin di darat membutuhkan mineral delapan kali lipat yang dibutuhkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar gas konvensional dengan kapasitas yang sama.
Situasi geopolitik
International Energy Agency (IEA) menuliskan, kondisi geopolitik atas critical minerals dapat membantu sekaligus menghambat perlombaan dunia untuk mendapatkan akses pada berbagai sumber daya yang dibutuhkan saat ini hingga beberapa tahun ke depan.
Hampir dua pertiga rare earth elements, yang digunakan pada berbagai hal seperti magnet sampai bahan bakar, diproduksi di Cina. Indonesia memiliki nikel dengan jumlah terbesar di dunia. Republik Demokratik Kongo punya sumber daya kobalt. Bahkan, tiga perempat platinum dunia berasal dari Afrika Selatan.
Konsentrasi geografis dari mineral kritis berarti bahwa persediaan dapat dipengaruhi tidak hanya oleh parameter geologis dan pasar lokal, tetapi juga oleh perubahan peraturan. Itu sebabnya, negara seperti Cina dan Indonesia menerapkan pembatasan ekspor bahan mentah komoditas critical minerals, atau inisiatif premium untuk Kobalt asal Kongo.