Google: Perpres Publisher Rights Ancam Masa Depan Jurnalisme Indonesia
Kominfo nilai tanggapan Google berlebihan.
Jakarta, FORTUNE – Raksasa teknologi global, Google, mengaku khawatir Rancangan Peraturan Presiden Tentang Publisher Rights akan membatasi keberagaman sumber berita bagi publik dan mengancam masa depan media serta jurnalisme di Indonesia.
VP Government Affairs and Public Policy, Google APAC, Michaela Browning, mengaku khawatir rancangan peraturan ini tidak dapat dilaksanakan, bila tak ada perubahan sebelum akhirnya disahkan. “Karena memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga non-pemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh muncul online dan penerbit berita mana yang boleh meraih penghasilan dari iklan,” tulisnya dikutip Fortune Indonesia, Senin (31/7).
Browning tak menampik pihak Google turut diajak dalam setiap pembahasan peraturan ini, namun rancangan yang terakhir diajukan masih dinilai berdampak negatif. “Kami tidak percaya rancangan Perpres di atas akan memberikan kerangka kerja yang ajek untuk industri berita yang tangguh dan ekosistem kreator yang subur di Indonesia,” ujarnya.
Pembatasan berita online dan ancaman eksistensi media
Menurut Browning, bila peraturan ini disahkan, maka Google terpaksa harus mengevaluasi keberlangsungan berbagai program yang sudah berjalan, termasuk bagaimana perusahaan tersebut mengoperasikan produk berita di Indonesia.
Perpres ini pun dapat memengaruhi kemampuan Google Indonesia dalam menyediakan sumber informasi online yang relevan, kredibel, dan beragam.
Menurut Google, peraturan ini nantinya akan membatasi berita yang tersedia online, dan hanya menguntungkan sejumlah kecil penerbit berita serta membatasi kemampuan perusahaan untuk menampilkan beragam informasi dari ribuan penerbit berita lainnya di Indonesia. Selain itu, peraturan ini juga mengancam eksistensi media dan kreator berita.
“Kekuasaan baru yang diberikan kepada sebuah lembaga non-pemerintah, yang dibentuk oleh dan terdiri dari perwakilan Dewan Pers, hanya akan menguntungkan sejumlah penerbit berita tradisional saja dengan membatasi konten yang dapat ditampilkan di platform kami,” kata Browning.
Respon Google dinilai berlebihan
Sementara itu, menanggapi apa yang disampaikan oleh Google, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Usman Kansong, mengatakan paparan Google soal dampak bila Perpres Publisher Rights disahkan, berlebihan. Karena ada aturan yang melarang platform memberikan tayangan negatif.
Menurut Usman, pihaknya sudah berupaya menengahi semua pihak, termasuk situs pencari seperti Google, dalam pembentukan Rancangan Perpres Publisher Rights. "Memang tidak mungkin satu rancangan atau bahkan satu kebijakan memuaskan semua pihak. Tapi pemerintah sudah berupaya keras untuk mencoba menjembataninya," ujarnya dalam diakusi daring, Sabtu (29/7).
Salah satu contoh penyesuaian pada pasal (5a) yang berpotensi memberatkan platform digital. Awalnya, platform dilarang untuk menyalurkan berita yang tidak sesuai kode etik jurnalistik, namun platform berdalih tidak bisa menerapkan hal tersebut karena algoritma yang belum bisa memilah berita berdasarkan kode etik jurnalistik dan kompetensi yang tidak dimiliki perusahaan platform.
“Akhirnya lahir satu pasal yang disepakati redaksinya (tertulis): Tidak menyalurkan berita yang tak sesuai kode etik, namun lewat pelaporan,” kata Usman.
Isu dalam Perpres Publisher Rights
Sebelumnya, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria, menjelaskan bahwa Rancangan Perpres Publisher Rights ini membahas tiga isu penting, seperti kerja sama bisnis ‘B to B’ antara platform media dan industri media; kedua, soal data; dan ketiga masalah algoritma platform digital.
"Secara umum, Perpress Publisher Rights mengatur terkait konten-konten berita yang dihasilkan oleh perusahaan pers. Kemudian, platform juga bisa melakukan filtering mana konten yang sifatnya news, mana yang bukan. Konten news inilah yang dikomersialisasi," ujar Nezar dalam keterangan resmi Kominfo, Rabu (26/7).
Rancangan Perpres Publisher Rights ini sendiri sudah diserahkan kepada Sekretariat Negara dan menunggu tandatangan dari Presiden Joko Widodo. Pemerintah sendiri menyatakan dukungannya pada pengaturan Publisher Rights sejak Februari 2023.