Israel Hadapi Dilema Prioritas Anggaran Imbas Serangan ke Gaza
Ini berdampak pada kestabilan politik dan ekonomi Israel.
Jakarta, FORTUNE – Israel terus melancarakan serangan ke Jalur Gaza, Palestina yang diyakini sebagai basis Hamas. Namun, pemerintah Israel mengalami dilema prioritas anggaran pemerintahan yang berdampak pada kestabilan ekonomi dan politik di negara tersebut.
Dislansir dari Bloomberg (12/11), pemerintah Israel sedang terjebak dalam prioritas anggaran, antara kepentingan pasar dan politik. Pada satu sisi, Israel harus mempertahankan ‘dana koalisi’ sejumlah partai untuk mendukung pemerintahan Netanyahu senilai 14 miliar Shekel atau sekitar Rp56,79 triliun (kurs Rp4.057 per Shekel). Di sisi lain, Israel juga harus mencari cara untuk mendanai perangnya dengan Hamas yang selama ini bergantung pada obligasi.
“Konflik ini menimbulkan banyak korban jiwa. Biaya ini juga menjadi lebih mahal bagi Israel dibandingkan perkiraan awal dan membebani keuangan publik. Namun pemberian dana kontroversial inilah yang memicu perdebatan nasional dan membuat pasar gelisah,” tulis Bloomberg dalam pemberitaannya.
Kementerian Keuangan Israel sebenarnya sudah memperkirakan ‘dana koalisi’ menentukan seberapa lunaknya pasar terhadap pemerintah yang menimbulkan kerugian ekonomi sebesar hampir US$8 miliar atau Rp125,69 triliun (kurs Rp15.711,39 per dolar AS). “Selama pemerintah tetap berpegang pada dana koalisinya, pemerintah akan membayar utangnya lebih banyak,” kata kepala ekonom di IBI Investment House, Rafi Gozlan.
Bagi pemerintahan Netanyahu, pendanaan koalisi bisa menjadi kunci kelangsungan politik mereka. Pada Mei lalu, beberapa partai mengancam akan membubarkan koalisi jika anggaran itu tidak disetujui. Namun, Netanyahu berkomitmen untuk membayar berapa pun dampak ekonomi yang ditimbulkan perang terhadap Israel.
Situasi riskan
Keputusan para pedagang global akan berpengaruh seiring dengan semakin seringnya pemerintah beralih ke obligasi untuk mendanai perang. Defisit anggaran membengkak lebih dari tujuh kali lipat pada Oktober dibandingkan tahun sebelumnya.
Apalagi, Kementerian Keuangan telah mengumumkan rencana meminjam 75 persen lebih besar pada November dibandingkan bulan lalu. Aset-aset Israel mulai dari syikal hingga obligasi telah menutup sebagian besar atau bahkan seluruh kerugian mereka pasca serangan Hamas. Namun aura risiko masih membayangi utang pemerintah.
Biaya untuk mengasuransikan obligasi pemerintah Israel terhadap gagal bayar (default) lebih dari dua kali lipat biaya sebelum perang dimulai. Sementara, premi risiko–atau spread–yang diminta investor untuk menyimpan uang kertas dolar Israel di atas obligasi Treasury AS tetap sekitar 25 basis poin lebih tinggi.
Kesadaran dan peringatan
Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, sudah menyadari ketimpangan keuangan saat ini. Rancangan anggaran tahun 2023 yang digariskan oleh Smotrich memperkirakan peningkatan pengeluaran sebesar 35 miliar shekel, yang mana sebagian besarnya ditujukan untuk militer dan sebagian besar lainnya dibiayai oleh utang.
Smotrich bahkan mengatakan, defisit anggaran bisa mencapai 4 persen dari output perekonomian tahun ini dan 5 persen pada 2024. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat perkiraan pemerintah sebelumnya tetapi masih kurang dari angka 7,1 persen yang diperkirakan oleh Moody’s Investors Service.
Namun, Smotrich tetap ingin mempertahankan 1,2 miliar Shekel yang dialokasikan untuk tunjangan guru di sekolah-sekolah ortodoks sambil terus meningkatkan pengeluaran untuk pemukiman–bagian ‘dana koalisi’ berupa pembiayaan yang menurutnya “penting untuk perlindungan” di saat ketegangan di Tepi Barat meningkat.
Hal ini membuat Josh Angrist–peraih Nobel bidang ekonomi–bersama kelompok investor dan analis terkemuka, memperingatkan pemerintahan Netanyahu untuk segera menyadari situasinya. “Langkah mendasar dan perlu adalah menghentikan pendanaan apa pun yang tidak penting untuk perang, pertama dan terutama dana koalisi,” katanya.