Jadi ‘Senjata’ Debat Gibran Melawan Mahfud MD, Apa Itu Greenflation?
Merujuk pada kenaikan harga akibat transisi energi.
Jakarta, FORTUNE – Debat calon wakil presiden (cawapres) Minggu (21/1) berlangsung panas. Cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka melontarkan pertanyaan ke Cawapres 03, Mahfud MD tentang Greenflation. Apakah itu?
Greenflation berasal dari gabungan kata green dan inflation. Hal ini menjadi perdebatan, karena istilah ini dianggap tidak familiar. Apalagi, Gibran tak menjelaskan terlebih dulu mengenai terminologi istilah sebelum ia . “Yang namanya greenflation atau inflasi hijau itu ya kita kasih contohnya demo rompi kuning di Prancis, bahaya sekali. Sudah makan korban. Ini harus kita antisipasi jangan sampai terjadi di Indonesia,” kata Gibran dalam debat.
Menurut Gibran, dalam menyikapi inflasi hijau negara harus hati-hati, jangan sampai membebankan riset dan pengembangan, termasuk proses transisi yang cukup mahal, kepada masyarakat.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan green inflation atau inflasi hijau ini? Menukil dari Philonomist, berikut ulasannya.
Pengertian
Inflasi hijau adalah sebuah situasi kenaikan harga material dan energi, akibat transisi ke energi hijau. Hal ini bisa terjadi, meskipun dalam jangka waktu yang panjang, seiring negara-negara di dunia untuk memenuhi komitmen mereka terhadap lingkungan.
Inflasi atau kenaikan harga barang-barang strategis ini sangat mungkin terjadi karena meningkatnya pengeluaran untuk teknologi bebas karbon.
Di sisi lain, intensifikasi peraturan lingkungan hidup yang membatasi investasi pada proyek pertambangan yang berpolusi tinggi juga membatasi pasokan bahan baku, juga mengakibatkan kenaikan harga.
Contoh
Philonomist mencontohkan peristiwa yang juga disebutkan Gibran dalam debat cawapres adalah protes Rompi Kuning yang terjadi pada 2018 di Prancis. Hal ini terjadi sebagai protes atas kebijakan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, yang ingin menaikkan pajak bahan bakar, sebesar 5 sen per galon untuk bensin pada 2020 dan 2 sen untuk solar. Di saat yang sama, biaya hidup di Prancis sudah cukup tinggi bagi warganya.
Dari segi logam strategis, harga litium yang digunakan untuk membuat baterai mobil listrik meningkat sebesar 400 persen pada tahun 2021. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut, sementara permintaan litium diperkirakan akan meningkat sebanyak 40 kali lipat pada tahun 2040.
Hal yang sama berlaku untuk aluminium, yang digunakan untuk menghasilkan energi surya dan angin, yang harganya naik dua kali lipat antara tahun 2021 dan 2022, bahkan mencapai titik tertinggi sepanjang masa.
Tren ini diperkirakan akan bertahan lama, karena Tiongkok–yang memproduksi 60 persen dari seluruh aluminium–telah memutuskan untuk membatasi produksi pabrik baru yang berpolusi tinggi, untuk mencapai netralitas karbon.
Dilema
Menurut Philonomist, menghaapi situasi ini, pemerintah biaanya akan dilema. Pemerintah harus memilih kebijakan pembatasan harus dilakukan atau cukup membiarkan siklus inflasi berjalan dengan sendirinya hingga transisi energi ramah lingkungan bisa sempurna terwujud.
Hal ini didukung oleh pernyataan anggota Bank Sentral Eropa, Isabel Schnabel, yang mengatakan bahwa intensifikasi upaya melawan perubahan iklim, justru tak akan menurunkan harga bahan bakar fosil. “Harga bahan bakar fosil tidak hanya akan tetap tinggi, namun bahkan terus meningkat, jika kita ingin mencapai tujuan-tujuan (melawan perubahan iklim) tersebut,” katanya seperti dikutip dari Philonomist.
Perhitungan ini juga diutarakan oleh ekonom, Joseph Stiglitz, yang menyebut bahwa jika kita ingin mengurangi separuh emisi CO2 pada tahun 2030, untuk menjaga pemanasan global dalam batas kurang lebih 1,5°C–kesepakatan perjanjian Paris–maka kita perlu menaikkan harga CO2 dari 50 dolar menjadi 100 dolar per ton.
Dalam situasi dilematis ini para pendukung liberalisme ekonomi cenderung memilih efisiensi, sedangkan kaum sosialis lebih memilih kesetaraan. Suka atau tak suka, greenflation memunculkan pilihan sulit, membela keadilan sosial atau kedaruratan lingkungan hidup.
“Haruskah kita mengorbankan anggota masyarakat termiskin saat ini demi generasi mendatang? Atau menunda tanggung jawab terhadap lingkungan demi menjaga daya beli semua orang?” tulis Philonomist.