Jokowi Harap Pompanisasi Tingkatkan Produksi Padi di Musim Kering
Indonesia berpotensi alami kemarau dan hujan bersamaan.
Jakarta, FORTUNE – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa program Pompanisasi bisa meningkatkan produksi Padi para petani hingga jutaan ton, terutama di masa Kekeringan seperti yang diperkirakan oleh Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Presiden mengatakan bahwa program ini diharapka mampu mengantisipasi masa kekeringan atau musim kemarau panjang pada lahan sawah tadah hujan, yang diperkirakan terjadi Juli-Oktober 2024. Hal ini akan diterapkan pada banyak daerah yang berpotensi mengalami kekeringan panjang, seperti Jawa Tengah.
"Contohnya di Jawa Tengah, target kami untuk produksi 9,8 juta ton. Dengan pompanisasi kami ingin ada tambahan 1,3 juta ton. Nggak banyak, dari 9,8 juta ton diberi tambahan 1,3 juta ton," ujarnya saat meninjau program pompanisasi di Dukuh Sangiran, Desa Krendowahono, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Rabu (19/6).
Di Jawa Tengah, menurutnya pemerintah sudah menyiapkan 4.300 pompa air. "Sudah diterima di provinsi, di Kodam, baik yang PK-nya 8,5 PK maupun yang 18 PK seperti yang ada di sini,” katanya.
Manfaatkan berbagai sumber
Jokowi menyebut pompa air yang digunakan dalam program pompanisasi akan memanfaatkan berbagai sumber, seperti air hujan buatan yang dimaksimalkan, air dari sungai, tanah, maupun air yang masuk ke irigasi. Manajemen pengolahan air ini diharapkan bisa mengatasi dampak kekeringan yang terjadi dan menjaga pasokan beras bagi masyarakat.
Dengan demikian, produksi beras bisa meningkat dan menekan impor komoditas tersebut. "Agar impor kita tidak makin besar, sehingga kami harapkan panen maksimal tidak hanya di tahun tanam pertama, tahun tanam kedua, tapi tahun tanam ketiga juga tetap sama," kata Jokowi.
Upaya mengatasi kekeringan
Sementara itu, Pj Bupati Karanganyar, Timotius Suryadi, mengatakan bahwa sebanyak 61 unit pompa air diharapkan akan mengatasi kekeringan lahan di wilayah pertanian Kabupaten Karanganyar dengan luas area mencapai 76.778,64 hektare.
Adapun luas lahan kering mencapai 56.832,97 hektare, luas tanah sawah 19.945,67 hektare. Sementara, luas sawah irigasi 12.926 hektare dan luas sawah non irigasi 7.019 hektare.
"Nanti semuanya bisa optimal sehingga lahan tanam kita maksimal dan produksi untuk pangan kita bisa dioptimalkan. Kalau tahun 2023 kemarin kita sudah surplus 150.000 ton diharapkan tahun 2024 bisa meningkat lagi," ujar Timotius.
Peralihan musim
BMKG sebelumnya mengungkapkan, sebagian wilayah Indonesia mulai memasuki musim kemarau dan berpotensi mengalami kekeringan, khususnya di wilayah Indonesia sebelah selatan Khatulistiwa, setidaknya hingga akhir bulan September.
Meski begitu, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto, mengatakan sebagian wilayah lainnya masih berada di masa peralihan musim di mana kandungan uap air dan labilitas atmosfer masih tinggi yang dapat memicu pertumbuhan awan-awan hujan yang signifikan.
Hal ini, antara lain karena fenomena Madden Julian Oscillation (MJO), gelombang ekuatorial Rossby dan juga Kelvin, adanya pola sirkulasi siklonik, serta potensi pembentukan daerah belokan dan perlambatan angin. “Menimbulkan potensi hujan dengan intensitas sedang-lebat yang disertai kilat/petir dan angin kencang yang dapat berlangsung di sebagian wilayah Indonesia hingga 9 Juni 2024,” katanya dalam rilis BMKG (3/6).
Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG, Andri Ramdhani, menambahkan bahwa dengan situasi ini, masyarakat diimbau untuk tetap waspada. "Dampak yang ditimbulkan dari cuaca ekstrem dapat meliputi banjir, banjir bandang, banjir lahar hujan, tanah longsor, jalan licin, pohon tumbang, dan berkurangnya jarak pandang," katanya.
Kemungkinan La Nina
Sedangkan terkait La Nina sebagai penyebab adanya perbedaan musim yang signifikan di sejumlah wilayah Indonesia, Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG, Supari menyebutkan bahwa hal ini mungkin saja terjadi di pertengahan musim kemarau sekitar Agustus 2024.
Meski demikian, intensitas La Nina yang terjadi di Indonesia pada tahun ini termasuk lemah, sehingga tak cukup kuat untuk memicu hujan lebat di berbagai wilayah. “La Nina biasanya berdampak pada meningkatnya curah hujan. Namun karena intensitas lemah, umumnya dampaknya tidak signifikan,” ujarnya seperti dikutip Kompas, Kamis (13/6).
Menurutnya, ada sejumlah wilayah yang diprediksi mengalami curah hujan bulanan di atas suhu normal, meski sudah masuk musim kemarau, yakni Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Hal ini sekaligus memperkuat pernyataan Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati sebelumnya bahwa bencana hidrometeorologi berupa kekeringan dan banjir berpotensi terjadi secara bersamaan di Indonesia ketika musim kemarau 2024, meskipun berada di pulau yang sama. “Yang satu mengalami banjir bandang, sisi timurnya mengalami kekeringan,” katanya (28/5).