Kemensos Resmi Cabut Izin PUB dari Yayasan ACT
ACT juga terindikasi alirkan dana ke organisasi terlarang
Jakarta, FORTUNE – Kementerian Sosial (Kemensos) mencabut izin Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) dari Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) tahun 2022.
Menteri Sosial Ad Interim, Muhadjir Effendi, mengatakan pencabutan ini dilakukan terkait dugaan pelanggaran peraturan yang dilakukan oleh ACT. “Jadi alasan kita mencabut dengan pertimbangan karena adanya indikasi pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Sosial sampai nanti menunggu hasil pemeriksaan dari Inspektorat Jenderal baru akan ada ketentuan sanksi lebih lanjut,” ujar Muhadjir dalam keterangan yang diterima Fortune Indonesia, Rabu (6/7).
Pencabutan itu dinyatakan dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap di Jakarta Selatan yang ditandatangani oleh Muhadjir Effendi.
Pelanggaran pungutan donasi tak sesuai ketentuan
Pelanggaran yang dilakukan ACT salah satunya terkait pengambilan donasi untuk kegiatan usaha yayasan yang tak sesuai ketentuan.
Menurut Pasal 6 ayat (1) PP Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan, pembiayaan usaha dari pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya 10 persen dari hasil pengumpulan donasi.
Sementara Presiden ACT, Ibnu Khajar dalam keterangannya mengatakandana operasional Yayasan diambil dari rerata 13,7 persen hasil pengumpulan uang dan barang dari masyarakat.
"Sebelumnya, rata-rata biaya operasional termasuk gaji para pimpinan pada tahun 2017 hingga 2021, adalah 13,7 persen. Rasionalisasi pun kami lakukan untuk sejak Januari 2022 lalu. Insyaallah, target kita adalah dana operasional yang bersumber dari donasi adalah sebesar 0 persen pada 2025,” ujar Ibnu dalam keterangan pers ACT, Senin (4/7).
ACT bukan lembaga zakat
Dalam keterangannya, Ibnu juga menjelaskan bahwa ACT tidak mengelola donasi lembaga zakat, melainkan donasi umum hingga Corporate Social Responsibility (CSR). "Kalau alokasi zakatnya sebagai amil zakat adalah 1/8 atau 12,5 persen. Kenapa sampai ada lebih? Karena yang kami kelola, ACT bukan lembaga zakat, apalagi ACT yang dikelola sebagian besar adalah donasi umum,” ujarnya.
Oleh karena itu, potongan 13,5 persen juga dialokasikan untuk kebutuhan program. “Cabang kami ada 78 di Indonesia dan kiprah kami lebih 47 di global. Maka diperlukan dana operasional untuk divisi bantuan lebih banyak sehingga kami ambilkan sebagian dari dana non-zakat yang dari infak sedekah atau donasi umum,” katanya.
Dugaan penyalahgunaan dana untuk terorisme
Selain masalah dana operasional, masalah ACT ini juga sudah merembet ke penyalahgunaan dana. Dari hasil analisis sementara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), teridentifikasi ada penyalahgunaan dana terkait aktivitas terlarang.
Ketua PPATK, Ivan Yustiavandana, mengatakan bahwa hasil ini sudah diserahkan ke Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). “Transaksi mengindikasikan demikian (penyalahgunaan). Indikasi kepentingan pribadi dan terkait dengan dugaan aktivitas terlarang. Ke Densus, BNPT ya (laporan diserahkan),” katanya.
Tanggapan BNPT
Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Ahmad Nurwakhid, mengaku telah menerima data dari PPATK tersebut. Namun, data aliran dana yang diterima perlu dikaji terlebih dulu, karena merupakan data intelijen.
Menurutnya, saat ini ACT belum masuk Daftar Terduga Terorisme atau Organisasi Terorisme (DTTOT). “Jika aktivitas aliran dana yang mencurigakan tersebut terbukti mengarah pada pendanaan terorisme tentu akan dilakukan upaya hukum oleh Densus 88 Antiteror Polri. Jikalau tidak, maka dikoordinasikan aparat penegak hukum terkait tindak pidana lainnya,” ujarnya dalam keterangan, Selasa (5/7).