RUU Status IKN Baru Masih Mengandung Perdebatan, Apa Saja Poinnya?
Penyusunan RUU ini harus sejalan dengan amanat konstitusi.
Jakarta, FORTUNE – Rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru ke Penajam Paser Utara Kalimantan Timur terus berjalan. Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait IKN masih terus dimatangkan sejumlah pihak, termasuk Konsultasi Publik Pansus RUU tentang IKN yang masih mengandung sejumlah perdebatan.
Anggota DPR RI, Hamka Baco Kady, mengatakan, salah satu yang menjadi perdebatan dalam rapat Pansus RUU di DPR adalah status dari IKN di Kalimantan Timur, yang mana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengusulkan berbentuk otorita yang bersifat ad hoc. Sedangkan, DPR merumuskannya dalam pemerintahan daerah khusus, seperti yang sudah berjalan di Jakarta saat ini.
“Perdebatan kami kala itu, apakah setingkat Menteri itu dapat mengelola pemerintahan juga? Kalau kita itu mengusulkan, bila bentuknya otorita sifatnya hanya pembangunan saja,” kata Hamka di kanal Youtube Unhas (12/1). “Otorita itu sifatnya ad hoc (sementara) dan lamanya akan kita bicarakan.”
Perumusan status IKN harus sesuai konstitusi
Sejalan dengan Hamka, Prof Junda, salah seorang Guru Besar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Unhas, menegaskan bahwa jika status otorita ditetapkan bagi IKN, kepala pemerintahan yang setingkat dengan Menteri ini harus mempunyai batas penugasan.
“Karena kalau memang sifatnya ad hoc, apabila status IKN kembali seperti semula, maka otomatis tugas kepala pemerintahan otorita akan selesai,” kata Prof Juanda dalam konsultasi publik.
Selanjutnya, Prof Juanda pun mendukung DPR RI untuk membentuk IKN dengan status pemerintahan daerah khusus seperti yang sudah dirumuskan. “Hal ini diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 18B,” katanya. “Oleh karena itu, di dalam penyusunan RUU ini harus sejalan dengan koridor yang diamanatkan konstitusi.”
Penyusunan RUU terkesan terburu-buru
Pendapat lain datang dari DR Hasrul, Wakil Dekan III Fakultas Hukum Unhas. Ia merasa penyusunan RUU yang tengah dilakukan oleh DPR RI terkesan terburu-buru. Sementara ada biaya yang masih harus ditanggung pemerintah sekitar Rp6.000 triliun.
“Janganlah terburu-buru. Kenapa? Kasus UU KPK terburu-buru akhirnya makan korban. UU Cipta Kerja dibikin buru-buru akhirnya Mahkamah Konstitusi batalkan dua tahun. Takutnya, ini (UU IKN) dibikin buru-buru, karena saya liat tannggal 3 November masuk, 18 januari sudah mau disahkan,” kata Hasrul.
Hasrul berharap, masukan yang diberikan oleh kalangan akademisi di Unhas dapat didengar oleh para pemangku kepentingan yang menyusun RUU IKN. “Sering kita ikuti acara seperti ini, tapi kadang enggak didengar,” ucapnya.
Banyaknya skema pembiayaan pemindahan IKN
Menanggapi soal pendanaan pemindahan IKN ke Kaltim, Tim Bappenas yang hadir pada konsultasi publik ini menyampaikan bahwa Pemerintah hanya menggunakan sekitar 19 persen dana APBN. “Selebihnya dari skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), itu yang paling banyak itungannya, yaitu sekitar 54 persen,” kata Tim Bappenas.
Kemudian, Bappenas menambahkan, terdapat juga skema partipasi pihak swasta dan BUMN. Selain itu ada skema pembiayaan internasional untuk pembiayaan dan kerja sama. “Jadi ada banyak sekali skema-skema yang sedanga kami persiapkan untuk pembiayaan ini,” ucapnya.
Masukan kalangan akademisi dibutuhkan
Hamka menyampaikan bahwa RUU IKN memiliki 8 poin cakupan. Poin-poin tersebut, antara lain kedudukan, pembentukan, dan pemindahan status dan fungsi; prinsip dan cakupan wilayah, bentuk dan susunan dan urusan pemerintahan NKRI; pembagian wilayah NKRI; penataan ruang pertanahan, lingkungan hidup, penanggulangan bencana, dan pertahanan keamanan, pemindahan ibu kota negara; pendanaannya.
“Pemerintah sudah memasukkan kepada DPR, Daftar Isian Masalah (DIM). Sisa DPR melakukan pembahasan secara detail. Kami dari DPR jjuga tidak mau gegabah di dalam memutuskan tanpa melalui tahapan-tahapan yang diinginkan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” kata Hamka.
Oleh karena itu, menurut Hamka, DPR butuh masukan dari para pakar lintas sektor di Unhas. Pembahasan sekarang sudah pada tahap perumusan Undang-Undangnya. “Saya kira ini (pendapat dari kalangan akademisi) jadi catatan penting buat DPR. Kami ini dalam proses perumusan, belum memutuskan, kemungkinan-kemungkinan masih bisa terjadi,”ujarnya.