NEWS

Negara G7 Beri Pinjaman Ukraina US$50 M Dengan Jaminan Aset Beku Rusia

Mempercepat proses pencairan pinjaman untuk Ukraina.

Negara G7 Beri Pinjaman Ukraina US$50 M Dengan Jaminan Aset Beku RusiaIlustrasi Rusia-Ukraina-Amerika Serikat. (Pixabay/Mediamodifier)
14 June 2024

Jakarta, FORTUNE – Para pemimpin negara-negara kaya (G7) sepakat untuk memberikan Pinjaman sebesar US$50 miliar atau Rp818,93 triliun (kurs Rp16.378,63 per dolar AS), kepada Ukraina, dengan jaminan bunga dari keuntungan aset bank sentral Rusia yang dibekukan.

Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden, mengatakan bahwa jaminan Ukraina diambil dari keuntungan tak terduga dari aset Rusia yang dibekukan senilai US$280 miliar (Rp4,59 kuadriliun) dan disimpan di Uni Eropa.

“Pengingat lain untuk (Vladimir) Putin: Kami tidak akan mundur. Faktanya, kami berdiri bersama melawan agresi ilegal ini,” katanya dalam konferensi pers yang dikutip AP News, Kamis (13/6).

Alih-alih langsung memberikan aset Rusia yang dibekukan kepada Ukraina langsung, G7 memilih menjadikannya jaminan bagi Ukraina karena lebih mudah untuk dilakukan.

AS dan sekutunya segera membekukan aset bank sentral Rusia yang dapat mereka akses ketika Moskow menginvasi Ukraina pada tahun 2022. Aset tersebut tidak dapat bergerak dan tidak dapat diakses oleh Moskow, namun tetap menjadi milik Rusia. Aset tersebut adalah uang yang disimpan di bank-bank di luar Rusia.

Selain negara-Negara G7, keputusan ini juga didukung oleh Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen yang menyebut pinjaman ini sebagai sinyal kuat banyak negara yang mendukung Ukraina berjuang demi kebebasannya. “Ini juga merupakan sinyal kuat bagi Putin bahwa Putin tidak bisa hidup lebih lama dari kita,” ujarnya.

Tujuan

Penasihat keamanan nasional Biden, Jake Sullivan, mengatakan bahwa tujuan pinjaman ini adalah untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan bagi Ukraina saat ini. “Untuk energi ekonomi dan kebutuhan lainnya sehingga mampu memiliki ketahanan yang diperlukan untuk menahan agresi Rusia yang terus berlanjut,” katanya.

Selain itu, penggunaan aset beku Rusia sebagai jaminan dilakukan untuk mempercepat pencairan pinjaman bagi Ukraina, agar bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan mereka, seperti militer, ekonomi dan kemanusiaan serta rekonstruksi. Langkah untuk membuka aset-aset Rusia ini terjadi setelah ada penundaan yang lama di Washington oleh Kongres dalam menyetujui bantuan militer untuk Ukraina.

Pada acara Dewan Atlantik yang meninjau KTT G7, mantan duta besar AS untuk Ukraina, John Herbst, mengatakan “fakta bahwa pendanaan Amerika tidak dapat diandalkan merupakan alasan tambahan yang sangat penting untuk mengambil jalur tersebut.”

Sementara pada Februari 2024, Bank Dunia menilai bahwa biaya rekonstruksi dan pemulihan kerusakan di Ukraina mencapai US$486 miliar (Rp7,96 kuadriliun) selama 10 tahun ke depan.

Penolakan

Seorang pejabat Perancis mengatakan keputusan politik para pemimpin dunia ini telah dicapai, namun rincian teknis dan hukum mengenai mekanisme untuk memanfaatkan aset tersebut masih harus diselesaikan.

Hal ini menimbulkan tantangan, karena jika aset-aset Rusia suatu hari nanti dicairkan–misalnya, ketika perang berakhir–maka keuntungan yang diperoleh tidak lagi dapat digunakan untuk melunasi pinjaman, sehingga memerlukan pengaturan pembagian beban dengan negara lain.

Max Bergmann, Direktur Program Eropa, Rusia dan Eurasia di Pusat Studi Strategis dan Internasional, mengatakan pekan lalu bahwa terdapat kekhawatiran di antara para menteri keuangan Eropa bahwa negara mereka “akan dibiarkan menanggung beban jika Ukraina gagal bayar.”

Sedangkan menurut Juru bicara Kedutaan Besar Tiongkok di AS, Liu Pengyu, kebijakan G7 ini memicu perlawanan dan menghasut konfrontasi. “Kami mendesak AS untuk segera berhenti menerapkan sanksi sepihak yang ilegal dan memainkan peran konstruktif dalam mengakhiri konflik dan memulihkan perdamaian,” katanya.

Related Topics

    © 2024 Fortune Media IP Limited. All rights reserved. Reproduction in whole or part without written permission is prohibited.