Peneliti: Komitmen Menahan Kenaikan Suhu Global Itu Penting
Menahan kenaikan suhu 1,5°C adalah agenda COP26.
Jakarta, FORTUNE – Konferensi Perubahan Iklim ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia, menjadikan komitmen negara-negara dunia untuk menahan kenaikan suhu global di 1,5 derajat Celsius dari suhu pra-industrialisasi, sebagai satu agenda utama. Heru Santoso, peneliti ahli madya tentang perubahan iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menegaskan bahwa upaya ini penting untuk menahan laju pemanasan suhu bumi yang berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia.
“Dibandingkannya dengan kondisi business as usual. Kalau semua negara masih mengeluarkan emisi seperti biasa dalam situasi seperti sekarang, maka kenaikan suhu bumi bisa luar biasa tinggi, bahkan di atas 2,5 derajat Celcius, minimal di atas 2 derajat dan stabil di tahun 2100, stabilnya,” ujar Heru kepada Fortune Indonesia, Senin (15/11).
Dalam kondisi seperti ini, kata Heru, maka ditunjuklah Panel Kerja Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) untuk mencari sebuah batasan aman yang diharapkan adil bagi semua pihak dalam peningkatan suhu yang masih cukup memudahkan manusia beradaptasi. “Akhirnya, ditetapkanlah 1,5 derajat Celsius batas kenaikannya,” katanya.
Menanggapi hal ini, Edvin Aldrian, Wakil Ketua Kelompok Kerja I IPCC, mengungkapkan pada Fortune Indonesia bahwa permintaan 1,5 derajat Celsius ini datang dari negara-negara kecil berbentuk kepulauan yang terdampak langsung oleh situasi perubahan iklim. Hal ini seiring dengan berbagai bencana di berbagai belahan dunia yang semakin mengkhawatirkan, terkait perubahan iklim yang terjadi.
“IPCC sudah mengatakan sebelum Glasgow, bahwa komitmen sukarela dunia (untuk menahan batas kenaikan suhu global di 1,5 derajat Celsius) seluruhnya hanya bisa memenuhi sepertiga dari kebutuhan 1,5 derajat. Artinya, sebenarnya kita sudah pesimis itu,” ucap Edvin.
Edvin menjelaskan, bahwa batas kenaikan suhu yang diterapkan, tidak langsung dapat menurunkan suhu bumi. Ada tahapan yang akan dilakukan. Hal ini juga terkait dengan situasi sebagian besar negara di dunia yang masih membutuhkan energi tidak ramah lingkungan untuk membangun negaranya.
Alam tidak cepat beradaptasi layaknya manusia
Menurut Edvin, tanpa diperparah manusia, pemanasan global tetap akan terjadi. Namun, ia percaya bahwa manusia adalah makhluk adaptif yang mampu untuk selalu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dalam kondisi sesulit apa pun.
“Tetapi yang nggak survive itu alamnya. Alam untuk keperluan pertanian, untuk sumber daya air, energi dan sebagainya itu tidak survive. Kita butuh alamnya itu secara berkelanjutan, masalahnya di situ,” ucap Edvin pada Fortune Indonesia, Senin (15/11).
Seluruh manusia, menurut Edvin, menginginkan kehidupan yang berkelanjutan, beranak cucu dan bertambah banyak. Oleh karena itu, upaya untuk menahan laju pemanasan global tetap dibutuhkan. Perjuangan kemanusiaan pun tetap perlu dilakukan dalam komitmen antar negara-negara di dunia, seperti halnya di COP26.
Akhir COP26 yang jauh dari memuaskan
COP26 baru saja usai dengan meninggalkan banyak permasalahan menggantung. Walau terkesan seluruh pihak sepakat untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius di atas suhu praindustri, namun kejelasan dan komitmen tiap negara masih didominasi ego masing-masing yang berbalut ketidakjelasan dan ambiguitas.
Reuters (15/11) menuliskan bahwa India memang mengatakan bahwa emisinya akan turun menjadi nol bersih pada 2070, tetapi baik India maupun Tiongkok tidak memberikan target pengurangan absolut baru untuk 2030. Padahal, kedua negara ini merupakan negara penghasil emisi terbesar yang mewakili sepertiga dari emisi gas rumah kaca global.
Sementara itu, sebagian negara berkembang melihat perubahan iklim sebagai masalah yang disebabkan oleh emisi karbon negara-negara maju yang sudah lebih dulu terindustrialisasi. Negara berkembang menginginkan negara maju juga bertanggung jawab dengan memberikan bantuan keuangan bagi negara berkembang dalam melakukan berbagai transisi ramah lingkungan di negaranya.
Kesepakatan fasilitas pembiayaan pun tidak terjadi. Sebagian janji biaya, bahkan banyak yang belum terbayarkan. Malahan, ada sebagian hibah US$80 miliar yang diajukan untuk mitigasi, merupakan pinjaman dan bukan hibah.
Pakta Glasgow yang dianggap gagal
COP Glasgow dianggap hanya menjadi ajang dialog semata, tanpa hasil kesepakatan nyata. Pakta Iklim Glasgow dianggap gagal dalam tantangan ini. Bahkan dengan janji baru di konferensi, Climate Action Tracker memperingatkan target pengurangan emisi 2030 negara-negara menyiratkan pemanasan 2,4 derajat Celsius pada 2100.
"Saya pikir hari ini kita dapat mengatakan dengan kredibilitas bahwa kita telah menjaga 1,5 dalam jangkauan. Tetapi denyut nadinya lemah, dan kita hanya akan bertahan jika kita menepati janji kita," kata presiden COP26, Alok Sharma, seperti dikutip Reuters.
Antonio Guterres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pun menganggap bahwa perjanjian di Glasgow dipenuhi dengan kompromi, alih-alih tindakan nyata dan keseriusan menjaga bumi. "Cerminan kepentingan, kondisi, kontradiksi, dan keadaan kemauan politik di dunia saat ini," ujarnya.