Kebijakan Larangan Ekspor Bauksit Berlanjut, Apa Untung Ruginya?
Kebijkan ini diharapkan bisa hasilkan nilai tambah,.
Jakarta, FORTUNE – Pemerintah kian serius menggarap hilirisasi barang tambang di dalam negeri. Setelah nikel, belum lama ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan komitmenny mengolah bijih bauksit di dalam negeri, dan menerapkan kebijakan larangan ekspor komoditas tersebut pada 2023.
Jokowi menegaskan, kebijakan tersebut merupakan upaya pemerintah mewujudkan kedaulatan sumber daya alam dan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri. “Mulai Juni 2023, pemerintah akan memberlakukan pelarangan ekspor bijih bauksit dan mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri,” katanya dalam keterangan pers (21/12) lalu.
Upaya ini juga diharapkan akan membuka lapangan kerja sebanyak-banyaknya dan meningkatkan devisa untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih merata. Meski demikian,upaya tersebut disadari tak bisa serta merta bisa dilakukan lantaran banyak kajian dan pertimbangan untung ruginya.
Keuntungan larangan ekspor
Pemerintah menyatakan, salah satu keuntungan yang bisa dihasilkan dari hilirisasi bauksit iuntuk meningkatkan pendapatan negara dari Rp21 triliun menjadi sekitar Rp62 triliun. Hal ini bercermin pada kebijakan terdahulu, seperti komoditas nikel yang dinilai berhasil.
Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto menambahkan, hilirisasi bijih bauksit bisa menghemat devisa hingga US$2 miliar. “Sekarang jumlah daripada impor aluminium oleh Indonesia itu 2 miliar dolar AS tentu dengan adanya pabrik berproses di Indonesia 2 miliar dolar AS ini menjadi penghematan devisa," katanya.
Hal ini didukung oleh beberapa data yang menunjukkan adanya peningkatan tren ekspor bauksit Indonesia dari tahun ke tahun. Menurut data Bank Indonesia (BI), volume ekspor bauksit sebesar 1,7 juta ton pada 2017, melesat menjadi 8,6 juta ton pada 2018. Pada 2019 volume ekspor bauksit terus naik menjadi 15,5 juta ton dan pada 2020 mencapai 19,3 juta ton.
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, produksi bauksit tercatat 1,2 juta ton pada 2017, lalu 5,6 juta ton pada 2018, 16,5 juta ton pada 2019 dan 25,8 juta ton pada 2020.
Sedangkan menurut Kementerian ESDM, cadangan bauksit Tanah Air mencapai 1,2 miliar ton atau sekitar 4 persen dari total cadangan global yakni 30,3 miliar ton, dan menjadi keenam yang terbesar dari seluruh negara dunia. “Ketahanan daripada bauksit kita antara 90 tahun sampai 100 tahun, masih cukup reserve yang ada," kata Airlangga.
Karena dianggap menguntungkan, Kementerian Keuangan bahkan akan memberikan insentif untuk mendorong pembangungan industri pengolahan bauksit dalam negeri, sama seperti yang sebelumnya diterapkan bagi komoditas nikel.
“Kalau dia (bauksit) termasuk industri prioritas nasional dan memang akan dikembangan, dia bisa masuk dalam kategori tax holiday dan tax allowance, itu sama seperti yang diterapkan di Morowali (pengolahan nikel),” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Kerugian
Namun, pendapat kontra pun terdengar seiring bergulirnya wacana tersebut. Pelaksana Harian Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I), Ronald Sulistianto, mengatakan bahwa industri bauksit Indonesia belum siap untuk melakukan hilirisasi pengolahan bauksit.
“Banyak masalah yang timbul. Itu kalau dilihat dari proses sekarang sampai dengan Juni (2023) saya yakin betul bahwa tidak akan ada smelter terbaru," ujarnya kepada media (26/12).
Salah satu kendalanya, menurut Ronald adalah jumlah smelter yang baru mencapai empat unit dengan kapasitas 4,3 juta ton olahan alumina setiap tahun, dan dipandang agak dipaksakan oleh pemerintah. “Kalaupun ada itu dipaksakan mungkin itu satu, itu pun punyanya Antam karena apa? Karena memang tidak bisa dipersamakan antara nikel dengan bauksit,” katanya.
Selain itu, industri bauksit juga masih sulit dari segi pendanaan. Menurut Ronald, untuk membangun smelter, belanja modal (capex) diperlukan bisa mencapai US$1,2 miliar untuk kapasitas 2 juta ton olahan per tahun. Sayangnya, pemerintah belum mau menerima proposal pembiayaan yang diajukan para pelaku industri.
Hal senada juga ditegaskan oleh Anggota Komisi VII DPR, Nasyirul Falah Amru, yang mengatakan bahwa pembangunan smelter bauksit tidak terlalu didukung lembaga pemberi pinjaman atau investor. “Hendaknya pemerintah mendorong pendanaan bagi proyek smelter ini. Kalau investor luar negeri mau mendanai, seharusnya juga dipermudah,” ujarnya.
Kendala terakhir yang bisa dikaji adalah kebijakan larangan ekspor bauksit yang kemungkinan masih akan menuai resistensi dari organisasi perdagangan dunia (WTO). Situasi serupa juga terjadi pada nikel. Indonesia kalah dalam sengketa melawan dengan Uni Eropa (EU) terkait kebijakan larangan ekspor nikel. Meski begitu, Indonesia menyatakan akan terus melawan dengan mengajukan banding.