Kemenperin Ungkap Strategi Atasi Tantangan Industri Furnitur
Ekspor industri furnitur mencapai US$2,5 miliar pada 2022.
Jakarta, FORTUNE – Kementerian Industri (Kemenperin) memetakan sejumlah strategi menghadapi tantangan industri furnitur. Terlebih di tengah kondisi geopolitik dan inflasi yang dihadapi sejumlah negara, menyebabkan penurunan daya beli konsumen dunia, terutama Amerika Serikat dan kawasan Eropa.
Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika, menyatakan prihatin dengan kondisi ini. Padahal Indonesia merupakan produsen mebel, kerajinan, dan homedecor dengan keunggulan komparatif berbasis sumber daya alam.
“Kita punya keunggulan yang kuat, dengan menghasilkan produk furnitur dan kerajinan yang unik dan berkualitas,” ujarnya seperti dikutip dari laman Kemenperin, Senin (13/3).
Pada tahun 2022, ekspor produk furnitur mencapai US$2,5 miliar dan ditargetkan bisa menembus US$5 miliar pada 2024. Furnitur juga jadi salah satu sektor padat karya yang menyerap tenaga kerja sangat banyak, bahkan mencpai 143 ribu orang dari ribuan perusahaan. Bahkan, per Desember 2022, utilisasi industri furnitur tercatat mencapai angka 74,16 persen.
Untuk memaksimalkan kinerja industri furnitur, Kemenperin pun menyiapkan dua strategi besar, yakni optimalisasi pasar domestik dan perluasan tujuan ekspor ke pasar non-tradisional–seperti India dan Timur Tengah. Selain itu, terdapat beberapa solusi untuk menghadapi sejumlah isu yang dihadapi para pelaku industri furnitur.
Rantai pasok
Isu pertama yang menjadi persoalan industri furnitur saat ini berkaitan rantai pasok ketersediaan bahan baku. Untuk itu, Kemenperin akan menjamin ketersediaan pasokan bahan baku dan menjaga stabilitasnya dengan fokus pada penyediaan akses yang lebih baik terhadap bahan baku industri furnitur sehingga tercapai pola rantai pasok bahan baku furnitur yang ideal.
Menurutnya, Kemenperin telah memfasilitasi Pusat Logistik Bahan Baku Industri Furnitur serta membantu koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait isu kemudahan akses bahan baku industri furnitur. "Hal in sebagai langkah untuk, “meminimalkan biaya dan lead time produksi, serta memacu kualitas bahan baku sesuai kebutuhan industri furnitur,” ujarnya.
Teknologi dan SDM
Kemudian, isu teknologi dan sumber daya manusia (SDM). Pada sisi teknologi, Putu mengatakan, Kemenperin telah melaksanakan program restrukturisasi mesin dan peralatan industri pengolahan kayu. “Output dari program ini adalah terfasilitasinya perusahaan dalam mendapatkan potongan harga berupa penggantian (reimburse) sebagian dari harga pembelian mesin dan/atau peralatan,” katanya.
Sementara pada sisi SDM, Kemenperin mencetak SDM-SDM kompeten di industri furnitur melalui pendirian Politeknik Furnitur dan Pengolahan Kayu di Kendal, Jawa Tengah. “Kami aktif membuka ruang kerja sama dengan asosiasi industri dalam penyusunan kurikulum agar lulusan politeknik kami benar-benar memenuhi kebutuhan pasar kerja,” ujarnya.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
Pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) menjadi isu ketiga yang banyak dihadapi oleh para pelaku industri furnitur. SVLKmenjadi salah satu komponen penting dan diakui dalam perdagangan kayu antara Uni Eropa dan Indonesia serta Voluntary Partnership Agreement on Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT-VPA).
Untuk itu, pemerintah melalui Kemenperin akan mendorong mutual recognition assessment (MRA) yang bisa mengakomodasi pengakuan standardisasi Indonesia di negara tujuan dan sebaliknya. Jadi, produk yang akan diekspor tidak perlu melalui tahap penilaian tambahan selama telah memenuhi kriteria penilaian di dalam negeri.
“Untuk sektor UMKM, biaya SVLK nantinya ditanggung oleh pemerintah,” kata Putu.