Ekonom Ingatkan Kebijakan Trump Dapat Mempengaruhi Indonesia
Amerika Serikat menyumbang surplus dagang US$ 1,52 miliar.
Jakarta, FORTUNE - Presiden terpilih Donald Trump berencana untuk menerapkan peningkatan tarif secara signifikan di Amerika Serikat. Trump mengajukan rencana tarif sebesar 60 persen hingga 100 persen untuk barang-barang dari Cina dan pajak impor antara 10 persen hingga 20 persen untuk produk dari negara-negara mitra dagang AS. Dalam debat presiden bulan September, Trump menggambarkan rencana ini sebagai cara untuk menarik uang dari negara saingan.
Menurut analisis para ekonom, besaran tarif ini kemungkinan besar akan menyebabkan kenaikan harga yang harus ditanggung konsumen Amerika, karena biaya tambahan dari tarif tersebut umumnya dialihkan oleh importir kepada pembeli.
Kebijakan tarif yang luas, menurut Trump, akan menyelesaikan dua masalah sekaligus: memberikan sumber pendapatan baru bagi pemerintah AS, yang dapat menutupi kerugian akibat pengurangan atau penghapusan beberapa bentuk pajak pendapatan, sambil menarik uang dari pemerintah saingan.
"Negara lain akhirnya, setelah 75 tahun, akan membayar kembali kepada kita atas semua yang telah kita lakukan untuk dunia," katanya dalam debat tersebut, melansir CNBC (22/11).
Namun, para ekonom cenderung sepakat bahwa rencana semacam itu akan berdampak pada kenaikan harga barang sehari-hari.
"Jika Presiden Trump menaikkan tarif pada barang impor, itu berarti, pada akhirnya, konsumen Amerika yang akan membayar lebih," kata Howard Gleckman, peneliti senior di Urban-Brookings Tax Policy Center.
Sederhananya, tarif adalah pajak atas impor, meskipun bukan negara pengekspor yang membayarnya. Sebaliknya, perusahaan AS yang ingin mengimpor barang dari, misalnya, Cina, harus membayar lebih untuk membawanya masuk.
Hal ini umumnya memiliki dua tujuan. Pertama, melindungi industri domestik tertentu. Dengan membuat impor lebih mahal, pemerintah AS secara efektif mencegah perusahaan asing menjual produk mereka dengan harga lebih murah dibandingkan perusahaan Amerika.
Kedua, menghasilkan pendapatan bagi pemerintah AS. Yayasan Pajak yang nonpartisan memperkirakan bahwa tarif universal sebesar 10 persen akan menghasilkan pendapatan sebesar US$2 triliun untuk pemerintah federal dari tahun 2025 hingga 2034, sementara tarif sebesar 20 persen akan menghasilkan US$3,3 triliun.
Itu adalah jumlah yang cukup besar dalam istilah mentah, tetapi tidak cukup untuk menutupi kekurangan pendapatan yang akan timbul dari menjadikan pemotongan pajak dari Tax Cuts and Jobs Act 2017 sebagai permanen, menurut Yayasan Pajak.
Trump juga pernah mengemukakan gagasan bahwa kebijakan tarif dapat menggantikan pajak pendapatan federal AS sepenuhnya, sebuah gagasan yang oleh Peterson Institute for International Economics disebut sebagai “secara harfiah mustahil.”
Apa dampaknya bagi Indonesia?
Efek samping dari pemberlakuan tarif — yang menjadi fokus kritik Trump selama kampanye presidennya — adalah bahwa perusahaan pengimpor yang membayar pajak cenderung membebankan biaya tersebut kepada konsumen. "Pada akhirnya, biaya tarif akan ditanggung oleh kita, konsumen. Mereka akan membeli barang dengan harga lebih tinggi daripada seharusnya," kata George Ball, ketua firma pengelolaan investasi Sanders Morris. Seberapa besar harga akan naik sulit untuk dipastikan.
Menilik lebih jauh, kebijakan tersebut jika diterapkan bisa berdampak pada mitra dagang AS, termasuk Indonesia sebab jika mereka ingin mengimpor barang harus membayar lebih untuk membawanya masuk. Neraca Perdagangan Indonesia dengan AS selalu mencatatkan surplus dalam lima tahun terakhir. Dari catatan surplus itu, lonjakan ekspor tampak terjadi sesudah periode pertama kepresidenan Donald Trump berakhir pada 2020.
Terkait hal ini Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas, Rully Arya Wisnubroto, mengatakan Amerika Serikat menyumbang surplus dagang sebesar US$1,52 miliar.
"Indonesia memang memiliki surplus yang cukup besar dengan AS, tapi tidak termasuk dalam 10 besar negara-negara yang memiliki surplus neraca perdagangan dengan AS," katanya kepada Fortune Indonesia (22/11).
Mengutip data Badan Pusat Statistik per Oktober 2024, komoditas penyumbang terbesar adalah mesin dan perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85) sebesar US$ 348,4 juta, alas kaki (HS 64) sebesar US$269,1 juta, dan pakaian dan aksesorisnya (rajutan) atau (HS 61) sebesar US$ 218,1 juta.
"Namun demikian, kami melihat masih ada risiko mengenakan tarif impor, apabila Trump melihat bahwa AS dirugikan dengan kegiatan perdagangan dengan Indonesia," katanya, menambahkan.
Menurutnya, Indonesia harus bersiap akan kemungkinan tersebut. "Cukup terbuka peluang Indonesia meningkatkan hubungan dagang dengan AS, dengan meningkatkan impor dari negara tersebut. Masih banyak komoditas dari AS yang memiliki harga yang cukup bersaing dengan kualitas yang juga sangat baik," ujarnya.
Sementara itu, Chief Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro, mengatakan Trump bukan kali pertama membuat kebijakan yang mengejutkan.
"Presiden Donald Trump ini bukan orang yang baru bagi masyarakat dunia. Dan kebijakannya pun juga sebenarnya secara umum itu masih relatif sama, seperti apa yang dilakukan di tahun 2017 yang lalu. Jadi first period-nya dari Presiden Donald Trump, kita ingat hal yang pertama dilakukan adalah melakukan trade war, menaikkan tarif impor barang-barang produk dari Cina," katanya.
Seberapa besar harga akan naik sulit untuk dipastikan. Hubungan ini tidak sesederhana dan sejelas seperti yang disarankan beberapa pihak, yang menganggap tarif akan berfungsi sebagai “pajak penjualan 20%,” kata Clark Bellin, kepala investasi di Bellwether Wealth.
"Terutama ketika Anda memasukkan inflasi yang telah kita alami ke dalam perhitungan, sulit untuk menunjukkan garis lurus seperti, 'Seberapa besar kenaikan harga karena tarif,’” katanya.
Trump menerapkan serangkaian tarif baru pada produk tertentu pada 2018 dan 2019, dan inflasi tetap moderat sepanjang masa kepresidenannya. Tarif tersebut, yang berlaku untuk produk impor tertentu dari China, termasuk aluminium, baja, semikonduktor, dan mobil listrik, tetap berlaku atau bahkan meningkat selama kepresidenan Biden.
Namun, sejumlah organisasi mengatakan bahwa kebijakan tarif baru Trump akan berdampak negatif pada konsumen Amerika.
Demokrat selama kampanye bersikeras bahwa kebijakan tersebut akan membebani keluarga kelas menengah sebesar $4.000 per tahun. Angka tersebut sejalan dengan perkiraan dari Center for American Progress yang condong ke kiri dan American Action Forum yang condong ke kanan.
Peterson Institute for International Economics memperkirakan biaya tahunan sebesar $2.600 per rumah tangga. Yayasan Pajak mengatakan bahwa tarif universal 10% akan meningkatkan pajak pada rumah tangga AS sebesar rata-rata $1.253 pada 2025, dan tarif universal 20% akan meningkatkan biaya sebesar $2.045.
Para ahli keuangan mengatakan bahwa kebijakan tarif yang lebih agresif juga dapat dilihat sebagai bentuk gertakan ekonomi. “Biasanya dalam situasi di mana sebuah negara memberlakukan sejumlah tarif baru, Anda cenderung melihat reaksi dari negara lain yang terdampak,” kata Sam Millette, direktur pendapatan tetap di Commonwealth Financial Network.
“Itu menciptakan perang dagang. Dan pada dasarnya, hal itu menciptakan situasi di mana kedua negara yang terpengaruh melihat intervensi pemerintah ini. Hal ini cenderung menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen di kedua negara.”