PwC: Tak Sekadar Liburan, Wisatawan Juga Mendukung Keberlanjutan
Pelaku industri pariwisata ikut mengambil peran.
Jakarta, FORTUNE - Traveling kini menjadi salah satu aktivitas gaya hidup yang semakin diminati. Kehadiran tren seperti 'staycation' pun menjadikan kegiatan ini semakin mudah dilakukan. Tanpa perlu melakukan perjalanan jauh, masyarakat kini bisa menikmati waktu berkualitas sambil merasakan suasana baru di lokasi yang relatif dekat dengan tempat tinggal.
Di balik meningkatnya tren wisata, ada kesadaran baru yang juga mulai tumbuh. Tak lagi hanya sekadar menikmati destinasi, kini wisatawan semakin peka akan peran mereka dalam mendukung keberlanjutan. Laporan terbaru dari PricewaterhouseCoopers (PwC) menunjukkan bahwa semakin banyak traveler yang memahami pentingnya keberlanjutan dalam setiap aktivitas wisata mereka.
Tentu ini merupakan langkah awal yang menjanjikan untuk mendorong perubahan menuju praktik wisata yang lebih ramah lingkungan. Apalagi, lembaga pemerintah dan pelaku industri juga terus bersinergi dalam mendukung inisiatif ini. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), misalnya, telah meluncurkan berbagai program strategis, seperti perdagangan karbon dan kompensasi emisi gas rumah kaca, melalui pengembangan sistem ekonomi yang mengedepankan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Meski banyak wisatawan ingin beralih ke opsi ramah lingkungan, mereka sering kali dihadapkan dengan kebingungan. Menurut riset dari Boston Consulting Group (BCG) ada delapan faktor terkait hambatan kepada produk keberlanjutan, yakni kesadaran, ketersediaan, harga, kualitas produk, kepercayaan, faktor sosial dan psikologis, kenyamanan, dan minat.
Secara global, 45 persen responden mengatakan bahwa hambatan sosial dan psikologis menghalangi mereka dari pilihan yang berkelanjutan. Faktor tersebut membuat wisatawan kesulitan menemukan pilihan yang sesuai dengan nilai keberlanjutan yang mereka inginkan. Padahal peran konsumen sangat penting dalam mendorong terciptanya Industri Pariwisata yang semakin hijau.
Oleh karena itu, kolaborasi yang semakin kuat antara pelaku industri sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan yang ada dan menciptakan ruang agar semua pemangku kepentingan bisa ikut ambil bagian.
Peran pelaku usaha menciptakan ruang berkelanjutan
Pelaku industri pariwisata kini ditantang untuk semakin cerdas dalam menciptakan pengalaman wisata yang berkesan sekaligus berkelanjutan. Salah satu pemain yang sudah berpartisipasi adalah Bobobox. Salah satu inovasi yang diluncurkan tahun lalu adalah fitur Carbon Offset Toggle.
Dengan fitur tersebut, tamu dapat dengan mudah mengurangi jejak karbon mereka selama menginap hanya dengan mengaktifkan opsi ini di aplikasi Bobobox sebelum menyelesaikan pembayaran. Setiap kontribusi yang diberikan kemudian dikonversi menjadi kredit karbon untuk mendukung Lahendong Geothermal Project, yang berfokus pada pemanfaatan energi terbarukan dari panas bumi.
Selain inovasi, transparansi menjadi kunci membangun kepercayaan konsumen, agar inisiatif hijau tak sekadar klaim belaka. Oleh karena itu, perusahaan perlu menjelaskan bagaimana jejak karbon dihitung dan bagaimana hasil kontribusi dialokasikan, konsumen bisa jadi semakin paham akan nilai dari pilihan berkelanjutan yang mereka buat.
Setiap perjalanan, mulai dari penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil hingga konsumsi listrik dan internet saat menginap, berkontribusi pada emisi karbon. Bobobox, bekerja sama dengan Fairatmos, menghitung emisi dari setiap aktivitas ini secara rinci. Hasilnya, Bobopod menghasilkan sekitar 6,6 kg tCO2, dan Bobocabin sekitar 8,2 kg tCO2. Angka-angka ini kemudian menjadi dasar perhitungan kontribusi dalam fitur carbon offset mereka.
ESG Program Manager Bobobox, Satria Gundara, mengungkapkan setelah satu tahun diluncurkan, jumlah pengguna fitur Carbon Offset Toggle terus mengalami pertumbuhan. Saat ini, rata-rata tingkat adopsi fitur ini meningkat hingga 9 persen untuk keseluruhan produk. Khususnya, konsumen yang menginap di Bobocabin menunjukkan kesadaran yang lebih tinggi terhadap perubahan iklim, dengan 18,2 persen penggunanya secara rutin melakukan offset emisi menggunakan fitur ini.
"Peningkatan ini menunjukkan bahwa semakin banyak tamu yang menyadari dampak lingkungan dari perjalanan mereka dan bersedia mengambil langkah nyata untuk berkontribusi," ujarnya, dalam keterangan pers.
Sebagai informasi, emisi yang dihindarkan melalui inisiatif ini dalam satu tahun setara dengan berkendara sejauh 369.216 km menggunakan kendaraan berbahan bakar bensin. Ini juga setara dengan hasil penyerapan karbon melalui penanaman sekitar 2.840 pohon selama 10 tahun.
Seiring meningkatnya kesadaran akan keberlanjutan, pelaku industri pariwisata diharapkan semakin aktif menyoroti berbagai inisiatif untuk mendukung periwisata berkelanjutan. Dengan cara ini, konsumen akan lebih sadar akan pilihan yang tersedia di pasar, sehingga dapat membuat keputusan wisata yang semakin membawa perubahan positif bagi lingkungan di masa depan.