Bantah Deindustrialisasi Dini, Menperin: Manufaktur Tumbuh 5,2 Persen
Beberapa indikator menunjukkan sektor manufaktur tumbuh.
Jakarta, FORTUNE – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sektor industri pengolahan pada kuartal III-2023 tumbuh 5,20 persen secara tahunan, lebih tinggi dari periode sama pada 2022 sebesar 4,83 persen. Capaian itu juga telah melampaui pertumbuhan ekonomi 4,94 persen pada periode yang sama.
Berdasarkan rilisan BPS tersebut, Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan bahwa Indonesia tidak sedang dalam proses deindustrialisasi dini.
“Industri manufaktur tetap tumbuh positif dan mengesankan dibanding dengan industri manufaktur negara tetangga lainnya. Bahkan, pertumbuhannya melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini sekaligus menjadi sumber terbesar pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2023,” kata dia dalam keterangannya, Selasa (7/11).
Bukti lain bahwa deindustrialisasi tidak terjadi pada industri manufaktur Indonesia, menurut Agus, adalah sektor tersebut masih berada dalam fase ekspansi hingga Oktober 2023.
“Hasil survei IKI pada Oktober 2023 juga menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha masih optimis terhadap kondisi usaha dalam enam bulan ke depan,” ujarnya.
Optimisme ini juga tecermin pada Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang terjaga pada zona optimistis 121,7 pada September 2023.
Agus menyebutkan, indikator-indikator tersebut menunjukkan masih kuatnya sektor industri dalam menopang perekonomian domestik Indonesia, yang berlawanan dengan isu deindustrialisasi dini.
“Kami akan terus mengupayakan agar sektor manufaktur dapat semakin meningkatkan produktivitas dan daya saingnya, serta mendukung terciptanya peluang pasar yang semakin besar bagi produk dalam negeri, baik domestik maupun ekspor,” katanya.
Tantangan sektor industri pengolahan
Saat ini, kontribusi industri pengolahan terhadap PDB Nasional juga masih menjadi yang tertinggi di antara sektor lain, dan meningkat menjadi 1,06 persen dari 0,99 persen pada triwulan III-2022.
Agus mengatakan kontribusi tersebut dapat lebih ditingkatkan jika beberapa masalah yang solusinya bergantung pada kementerian/lembaga lain bisa diselesaikan.
“Sebagai contoh, program HGBT (Harga Gas Bumi Tertentu) yang tidak berjalan dengan baik. Masih banyak industri peserta program HGBT mendapatkan gas untuk bahan baku dan energi di atas US$6 per MMBTU. Selain harga di atas US$6 per MMBTU, pasokannya pun tidak lancar. Hal ini berdampak terhadap daya saing produk, permintaan, utilisasi, dan tenaga kerja. Akhirnya, program HGBT yang tidak berjalan baik ini telah ikut menekan pertumbuhan industri manufaktur,” ujarnya.
Contoh kedua, Agus mengatakan pengetatan arus masuk barang impor belum optimal. Saat ini pasar domestik telah dibanjiri barang impor, baik yang masuk secara legal maupun ilegal. Banjirnya pasar dalam negeri oleh produk impor telah berdampak pada permintaan produk manufaktur, utilitasi industri, dan tenaga kerja industri.
“Lemahnya ketegasan dan koordinasi antar kementerian/lembaga juga memiliki andil terhadap derasnya arus barang impor masuk ke pasar domestik,” katanya.
Menurut Agus, pertumbuhan sektor industri pengolahan bisa meningkat jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional apabila kementerian/lembaga, pemerintah daerah, maupun BUMN/BUMD memaksimalkan realisasi belanja produk dalam negeri.
“Kalau pemerintah bisa memaksimalkan belanjanya untuk membeli produk dalam negeri, maka pertumbuhan industri manufaktur akan jauh lebih tinggi dan kontribusinya terhadap PDB nasional jauh lebih besar,” ujarnya.