Gap Kebutuhan Gula 4,12 Juta Ton, Kemenperin Dorong Produksi
Industri gula tergolong sektor strategis.
Jakarta, FORTUNE - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendorong peningkatan produktivitas industri gula karena saat ini masih terdapat kesenjangan kebutuhan gula hingga 850.000 ton untuk konsumsi, dan 3,27 juta ton untuk rafinasi. Total gap tersebut mencapai 4,12 juta ton.
"Industri gula punya nilai strategis bagi ketahanan pangan nasional dan peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangannya, Minggu (7/8).
Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 2004 tentang Penetapan Gula Sebagai Barang Dalam Pengawasan menggolongkan gula menjadi tiga, yaitu gula kristal mentah (GKM) untuk bahan baku proses produksi, gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi langsung atau rumah tangga, dan gula kristal rafinasi (GKR) sebagai bahan baku industri.
Kebutuhan gula meningkat setiap tahun
Ketimpangan dalam kebutuhan nasional itu terjadi karena adanya lonjakan kebutuhan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika saat mengunjungi PT Rejoso Manis Indo (RMI) di Blitar, Jawa Timur. Dalam industri makanan dan minuman, kebutuhan gula nasional diproyeksi meningkat 5-7 persen per tahun.
“Untuk mewujudkan swasembada gula nasional, kami dari pemerintah sangat mengapresiasi atas upaya yang dilakukan oleh PT RMI dalam mengembangkan industri gula nasional dengan mendirikan pabrik gula yang terintegrasi dengan perkebunan tebu melalui kemitraan dengan petani tebu,” ujarnya.
Investasi pabrik gula
Pada 2022, PT RMI mendapat pasokan tebu dengan panen seluas 15.080 hektare yang potensi produksinya 93.661 ton. Pada tahun sebelumnya, luas areal panen hanya 13.721 hektare dan produksi GKP 67.677 ton.
PT RMI memiliki kapasitas giling 10.000 ton tebu per hari (TCD) dan dapat diperluas menjadi 20.000 TCD. Sementara itu, kapasitas produksinya 1.500 ton per hari (TPD). Teknologi yang dterapkannya adalah Defekasi Remelt Karbonatasi (DRK).
Total investasi PT RMI mencapai Rp3,4 triliun dan keberadaan bisnisnya mendorong pertumbuhan berbagai lapangan pekerjaan baru yang menyerap lebih dari 40.000 orang di ladang maupun luar ladang.
“PT RMI memiliki potensi untuk bisa dikembangkan lagi produksinya hingga 2,5 kali. Apalagi nanti kalau didukung dengan infrastruktur jalan yang lebih bagus. Saat ini, per hari ada 1.200 truk, dan kalau kualitas jalan lebih baik lagi, truk bisa mengangkut dua kali lebih banyak,” ujarnya.
Efektivitas teknologi baru DRK
Proses permurnian dengan sistem DRK dinilai lebih ekonomis bila dibandingkan dengan proses sulfitasi yang biasa digunakan pabrik gula terdahulu. Pasalnya, perlakuan nira mentah sebelumnya membutuhkan banyak gas karbondioksida dan hanya bisa dipenuhi oleh pabrik gula yang memiliki pembakar batu kapur. Masalahnya, proses pembakaran batu kapur membutuhkan batu bara dengan kalori tinggi. Lonjakan harga komoditas batu bara dengan kualitas tersebut jelas menjadi beban produksi bagi pabrik gula dan sekarang ditinggalkan.
Sistem DRK hanya membutuhkan gas karbondioksida yang lebih sedikit. Kebutuhan gas tersebut untuk karbonitasi dapat tercukupi dengan mengambil dari cerobong pembuangan hasil pembakaran bahan bakar di broiler. Selain itu, proses ini dinilai ramah lingkungan karena tidak menggunakan belerang untuk bahan bakar di boiler.
Melalui teknologi pemurnian nira terbaru tersebut, kualitas gula yang dihasilkan lebih baik dan dapat dikategorikan sebagai gula premium.