Kebun Sagu Mayoritas di RI, Tapi Ekspor Malaysia Nomor Satu
Potensi lahan sagu Indonesia terluas di dunia.
Fortune Recap
- Indonesia memiliki 85% lahan sagu dunia, tapi kalah ekspor pati sagu dari Malaysia.
- Malaysia ekspor US$15 juta, Indonesia US$9 juta pada 2023.
- Potensi lahan sagu di Papua besar tapi belum teroptimalkan, sementara Riau produsen sagu terbesar dengan produktivitas tinggi.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkap penyebab ekspor pati sagu Indonesia kalah dari Malaysia. Padahal Indonesia memiliki potensi luas lahan sagu terbesar di dunia.
Tercatat, Indonesia memiliki 85 persen atau 5,5 juta hektare kebun sagu dari 6,5 juta hektare lahan sagu di dunia.
Namun, nilai ekspor pati sagu Malaysia menjadi nomor satu dengan US$15 juta, diikuti Indonesia senilai US$9 juta pada 2023.
"Ini suatu hal yang aneh, padahal [luas] lahan pati sagu di Malaysia jauh dari Indonesia,” kata Agus dalam sambutannya pada acara Simposium Nasional Industri Pengolahan Sagu 2024 yang disiarkan secara virtual, Senin (29/7).
Agus menyoroti potensi lahan sagu di Papua seluas 5,2 juta hektare yang masih belum teroptimalkan.
Di sisi lain, Riau yang lahan sagunya tidak seluas Papua justru menjadi produsen sagu terbesar di Indonesia.
Produktivitas provinsi Riau adalah 3,73 ton per hektare, sementara Papua 1,21 ton per hektare.
Berdasarkan data statistik perkebunan dari Kementerian Pertaninan (Kementan) pada 2022 hanya 112.000 hektare lahan atau 4 persen dari total lahan sagu yang baru dimanfaatkan dengan total produksi 386.000 ton.
"Pemanfaatan produksi sagu di indonesia dirasakan masih sangat rendah, karena berbagai kendala, pertama pada alur rantai pasok bahan baku sagu," ujarnya.
Potensi pasar pati sagu secara global
Padahal, menurut Business Research Insight, pertumbuhan pasar pati sagu secara global pada 2031 diproyeksikan mencapai US$557,13 juta.
“Hilirisasi industri sagu diharapkan tidak hanya berhenti sampai di pati sagu, tetapi juga dapat mendorong pertumbuhan produk hilir lainnya,” ujar Agus.
Selanjutnya, sagu dapat diolah menjadi beragam produk, mulai dari produk pangan seperti pati sagu, mi, beras analog, modified starch, sampai dengan produk non-pangan seperti bio packaging.
Penguatan riset dan inovasi produk diharapkan juga dapat mendukung pengembangan hilirisasi sagu.
Agus menyebutkan sagu merupakan komoditas berpotensi besar untuk dikembangkan guna mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia.
Selain itu, sagu adalah tanaman asli Indonesia yang menghasilkan pati paling besar dibandingkan dengan tanaman penghasil pati lainnya.
“Sagu juga merupakan komoditas yang ramah lingkungan karena memiliki laju penyerapan CO2 yang tinggi, sehingga menjadi salah satu kontributor perlambatan global warming,” katanya.
Karenanya, Kemenperin berkomitmen untuk terus meningkatkan hilirisasi komoditas sagu melalui pengembangan diversifikasi produk, fasilitasi kerja sama antara industri pengolahan sagu dengan industri pengguna, mendorong program sertifikasi TKDN, dan program restrukturisasi mesin atau peralatan bagi industri pengolahan sagu.
“Kami sangat terbuka terhadap usulan-usalan kebijakan agar industri pengolahan sagu dapat terus tumbuh di Indonesia,” ujar Agus.