Kemenperin Ungkap Industri Keramik Sempat Jaya, Beda dengan Sekarang
Penurunan utilisasi industri keramik terjadi sejak 2018.
Fortune Recap
- Industri keramik lokal mengalami penurunan karena tingginya harga gas dan masuknya keramik impor murah.
- Utilisasi kapasitas produksi industri keramik turun dari 90 persen menjadi 69 persen pada akhir 2023.
- Kebijakan bea masuk tinggi pemerintah tidak berhasil menekan impor; volume impor ubin keramik terus meningkat dari 75,6 juta m² pada 2019 menjadi 93,4 juta m² pada 2023.
Jakarta, FORTUNE - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkap alasan di balik penurunan kinerja industri Keramik domestik hingga beberapa perusahaan harus menghentikan produksi. Industri yang dulunya memiliki daya saing tinggi ini kini menghadapi tantangan besar.
Pejabat Fungsional Pembina Industri pada Direktorat Industri Semen, Keramik, dan Pengolahan Bahan Galian Nonlogam Kemenperin, Ashady Hanafie, mengatakan enyebab utama turunnya daya saing keramik lokal adalah tingginya harga gas dan masuknya keramik impor murah.
"Cukup lama industri keramik memiliki permasalahan yang berat dan mulai tahun 2018 kita mengajukan. Sudah suffer itu, drop karena kenaikan harga gas. Sebelumnya tahun 2015 itu kita jaya, bahkan utilitasnya mencapai 90 persen," kata Ashady dalam diskusi publik di kanal YouTube INDEF, Selasa (16/7).
Kenaikan harga gas dan banjirnya impor keramik murah menyebabkan utilisasi kapasitas produksi industri keramik turun dari 90 persen menjadi 69 persen pada akhir 2023.
Selain itu, biaya produksi keramik meningkat sekitar 5-6 persen setelah kenaikan harga BBM dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Biaya angkut keramik juga naik sekitar 2-3 persen per 1 September 2022.
Kenaikan harga gas per 19 Mei 2023 di Jawa Barat dari US$6 per MMBTU menjadi US$6,5 per MMBTU, dan di Jawa Timur dari US$6 per MMBTU menjadi US$6,32 per MMBTU semakin membebani industri.
Untuk mengatasi impor, pemerintah menerapkan bea masuk tinggi selama tiga tahun mulai 2019, dengan tarif 23 persen pada tahun pertama, 21 persen pada tahun kedua, dan 19 persen pada tahun ketiga.
Kebijakan ini diperpanjang pada 2021 dengan tarif 17 persen pada tahun pertama, 15 persen pada tahun kedua, dan 13 persen pada tahun ketiga. Namun, kebijakan ini tidak berhasil menekan impor.
Volume impor ubin keramik terus meningkat dari 75,6 juta meter persegi pada 2019 menjadi 93,4 juta meter persegi pada 2023.
"Industri ubin keramik dalam negeri kalah bersaing dengan produk dari Cina yang mendapatkan insentif tax refund 14 persen dari pemerintah Cina,” kata Ashady.
Upaya menyelamatkan industri keramik
Akibat lonjakan impor, tujuh perusahaan industri ubin keramik menghentikan produksinya, yaitu PT Indopenta Sakti Teguh, PT Indoagung Multiceramics Industry, PT Keramik Indonesia Assosiasi - Cileungsi, PT KIA Serpih Mas - Cileungsi, PT Ika Maestro Industri, PT Industri Keramik Kemenangan Jaya, dan PT Maha Keramindo Perkasa.
Industri keramik mengajukan kebijakan antidumping pada 15 Maret 2023 kepada Komite Anti Dumping Indonesia (KADI).
Untuk menyelamatkan industri keramik, Kemenperin mendukung rekomendasi KADI untuk menerapkan Bea Masuk Antidumping (BMAD) pada produk ubin keramik dari Cina.
"Laporan akhir mengusulkan pengenaan BMAD selama lima tahun dengan tarif antara 100,12 persen hingga 109,88 persen. Kami akan melanjutkan proses ini," ujar Ashady.