Ketergantungan Indonesia Terhadap PLTU Batu Bara Masih Tinggi
Sulit berkelit dari pembangkit bertenaga batu bara.
Fortune Recap
- Target APBN 2024: 65,72 persen listrik dari batu bara, namun realisasi saat ini mencapai 67 persen.
- Potensi EBT besar, namun pemanfaatannya masih rendah.
Jakarta, FORTUNE - Indonesia masih sangat bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis Batu Bara, meskipun telah meluncurkan berbagai upaya transisi menuju energi baru terbarukan (EBT).
Pernyataan itu disampaikan oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot, dalam acara Electricity Connect 2024 di Jakarta, Rabu (20/11).
APBN mencanangkan target penggunaan pembangkit batu bara 65,72 persen. Lalu, target penggunaan pembangkit dari gas bumi 17,72 persen, biomassa 1,02 persen, BBM + Biofuel 3,06 persen, air 6,88 persen, panas bumi 5,33 persen, dan energi baru terbarukan (EBT) lainnya 0,25 persen.
“Dari target APBN 2024, energi listrik dari batu bara diharapkan menyumbang sekitar 65 persen dari kebutuhan listrik nasional. Namun, realisasi saat ini menunjukkan ketergantungan kita masih relatif tinggi, sekitar 67 persen,” kata Yuliot.
Ia menegaskan kondisi ini menjadi tantangan besar demi mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca, termasuk visi net zero emission pada 2060.
“Kita mengharapkan ke depan untuk bauran energi ini bisa kita lakukan penyesuaian sehingga mayoritas energi baru terbarukan itu bisa disediakan," katanya.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar dalam pengembangan energi baru dan terbarukan. Namun, pemanfaatannya masih jauh dari optimal.
Misalnya saja, menurut Yuliot, energi surya baru termanfaatkan 675 megawatt dari potensi 3.294 gigawatt. Lalu untuk energi hidro, pemanfaatannya baru mencapai 6,6 megawatt dari potensi 95 gigawatt. Bioenergi memiliki potensi sebesar 57 gigawatt, namun pemanfaatannya baru sekitar 3,4 megawatt. Energi angin memiliki potensi 155 gigawatt, sementara yang dimanfaatkan baru 152 megawatt.
Dari total potensi EBT yang mencapai 3.687 gigawatt, baru 0,3 persen yang dimanfaatkan.
“Potensi ini sangat besar, tetapi kesenjangan antara potensi dan pemanfaatan masih terlalu lebar. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk menutup celah tersebut,” katanya.
Perlu investasi dan teknologi baru
Yuliot menekankan pentingnya investasi besar dan pengembangan teknologi demi meningkatkan bauran energi baru terbarukan.
“Pengembangan teknologi pembangkit baru dan kebutuhan investasi menjadi kunci untuk mendorong penyediaan energi yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya.
Ia mengatakan transisi energi ini menghadapi tantangan geografis. Sebagian besar aktivitas perekonomian masih terpusat di Pulau Jawa, sedangkan potensi terbesar EBT ada di luar Jawa.
“Ini membutuhkan upaya lebih untuk mendistribusikan pembangunan energi terbarukan agar manfaatnya bisa dirasakan secara merata,” kata dia.
Dalam rangka transisi energi menuju net zero emission pada 2060, pemerintah terus mendorong pemanfaatan EBT lebih maksimal. Namun, Yuliot mengingatkan bahwa percepatan transisi ini tidak hanya membutuhkan kebijakan kuat, tetapi juga dukungan dari berbagai pihak, termasuk sektor swasta.
“Kita semua harus berkomitmen untuk mengurangi emisi dan mencapai efisiensi energi. Ini tidak hanya untuk ketahanan energi, tetapi juga demi keberlanjutan generasi mendatang,” ujar Yuliot.