Komisi VII DPR: Cadangan Minyak Indonesia Sisa 2,4 Miliar Barel
Indonesia dihadapi dengan menipisnya cadangan minyak.
Fortune Recap
- Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, menyatakan bahwa penyediaan energi Indonesia terutama BBM semakin mahal dan terbatas.
- Cadangan minyak Indonesia semakin menipis, hanya tersisa sekitar 2,4 miliar barel yang bisa diambil.
- Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan energi nasional karena infrastruktur yang belum memadai.
Jakarta, FORTUNE - Ketua Komisi VII DPR, Sugeng Suparwoto, mengemukakan kondisi penyediaan Energi Indonesia khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin mahal dan terbatas, karena produksi setiap tahunnya mengalami penurunan.
Sugeng mengatakan bahwa Cadangan Minyak Indonesia semakin menipis, hanya tersisa sekitar 2,4 miliar barel yang bisa diambil. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara produsen minyak seperti Venezuela yang memiliki cadangan hingga 300 miliar barel.
“Kita harus catat bahwa proven reserve minyak kita tinggal 2,4 miliar barel saja. Total cadangan keseluruhan sekitar 4 miliar (barel), tetapi yang bisa diangkat tinggal 2,4 miliar,” kata Sugeng acara Coffee Morning Energy Edition di Senayan Park, Jakarta, Rabu (19/9).
Saat ini produksi minyak nasional hanya sekitar 600.000 barel per hari, sedangkan kebutuhan minyak domestik Indonesia adalah 1,44 juta barel per hari.
Untuk memenuhi kekurangan tersebut, Indonesia harus mengimpor minyak dari berbagai negara dengan total 840.000 barel per hari. Terdiri dari BBM sebesar 600.000 barel per hari dan minyak mentah 240.000 barel per hari.
Sugeng tidak menampik bahwa dari 128 cekungan yang ada di Indonesia, masih ada 60 cekungan migas yang dapat dieksplorasi. Namun demikian, beberapa tahun belakangan ini terekam lebih banyak temuan gas dibandingkan minyak.
Menurutnya, cadangan gas Indonesia relatif besar, mencapai 60 TCF (trillion cubic feet) yang mayoritas ditujukan untuk ekspor, meski dalam konteks global jumlah ini masih terbatas.
Sugeng menambahkan bahwa eksplorasi dan eksploitasi gas terus dilakukan, namun pemanfaatannya masih terkendala oleh infrastruktur, seperti pipa transmisi gas yang belum memadai.
“Kita punya gas yang besar, tetapi sebagian masih diekspor, dan untuk memanfaatkannya secara optimal, kita butuh infrastruktur seperti pipa transmisi. Namun, anggaran untuk proyek pipa Cirebon-Semarang di APBN 2025 tidak disetujui,” kata Sugeng.
Kondisi ini membuat Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Tanpa infrastruktur yang memadai, gas alam harus dicairkan menjadi LNG, yang menambah biaya US$2–4 per MMBTU. Padahal, kebutuhan gas dalam negeri, terutama untuk industri pupuk, terus meningkat.
Perlu transisi menuju energi bersih
Sugeng menekankan bahwa energi fosil di Indonesia sudah sangat terbatas. Oleh karena itu, pemerintah harus segera beralih ke energi baru terbarukan (EBT) untuk menjaga ketahanan energi pada masa mendatang.
“Strategi kendaraan listrik bukan hanya untuk memenuhi target net zero emission (NZE), tapi juga untuk mengurangi konsumsi BBM yang semakin terbatas,” ujarnya.
Namun, Sugeng mengingatkan bahwa Indonesia tidak boleh hanya menjadi konsumen kendaraan listrik, yang saat ini membanjiri pasar dari Cina. Menurutnya, Indonesia harus fokus pada pengelolaan sumber daya alam, terutama nikel, yang menjadi kunci dalam pertarungan energi masa depan melalui teknologi penyimpanan energi (energy storage).
Sugeng juga menyinggung pentingnya peran Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim global.
“Suhu bumi sudah naik 1,13 derajat Celsius. Jika dibiarkan, Kutub Utara dan Selatan akan mencair, dan sebagai negara kepulauan, Indonesia akan terkena dampak langsung,” kata Sugeng.
Ia mengingatkan bahwa perubahan iklim bukanlah isapan jempol belaka. Dampak suhu bumi yang terus meningkat akan mengakibatkan kegagalan panen dan berbagai bencana lain yang mengancam kesejahteraan global.