Larangan Ekspor CPO Berlaku, Harga TBS Di Tingkat Petani Merosot
Petani sawit sulit jual hasil panen karena harga TBS turun.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah Indonesia resmi melarang ekspor produk sawit mulai Kamis (28/4). Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyampaikan dampaknya sangat memprihatinkan bagi petani di seluruh Indonesia.
Dia mengatakan para petani sulit menjual hasil panen kelapa sawitnya karena harganya turun drastis. “Ada yang tidak bisa dijual karena pengepul tidak mau membeli. Perubahan harga juga cepat berubah pada pengepul. Pada pagi hari Rp1.500, tengah hari Rp1.000, dan sore hari ada petani yang terpaksa membawa pulang kembali TBS-nya karena sudah tidak laku. Tidak ada pembeli," ujarnya dalam pernyataannya, Jumat (29/4).
Di Riau, kata Henry, harga Tandan Buah Segar (TBS) petani hanya Rp1.500-Rp1.600 per kilogram. Di Batanghari, Jambi, TBS sawit masih laku Rp1.000-Rp1.500 per kilogram. Bahkan ada pula harga TBS yang dibeli kurang dari Rp1.000 per kilogram.
Henry menegaskan, pengusaha, korporasi sawit tidak patuh terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah mengenai standar pembelian TBS dari petani.
Petani mengeluh
M. Yunus Nasution, petani sawit anggota SPI di Padang Lawas, Sumatera Utara, mengamini kondisi tersebut. Berdasarkan perhitungannya, jika TBS sawit dihargai Rp1.500-Rp1.700 per kilogram—seperti dilaporkan petani SPI Jambi dan SPI Riau—biaya produksi tidak tertutupi. Artinya, petani merugi.
"Terlebih harga pupuk naik. Biaya produksi petani ikut meninggi. Di Padang Lawas untuk hari ini, harga TBS justru kembali turun, dari Rp.2.140 per kilogram menjadi Rp.1.990 per kilogram," ujarnya.
Menurutnya, harga TBS harus dilindungi sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor (Permentan) Nomor 1 tahun 2018 dengan mempertimbangkan antisipasi terhadap perubahan harga input produksi yang ekstrim.
"Karena saat ini banyak PKS yang membeli TBS di bawah ketentuan yang telah diputuskan gubernur. Hal ini jelas menjadi bukti pelanggaran," katanya.
Pengusaha harus bayar sesuai harga
Sementara itu, Henry kembali meminta kepada para pengusaha kelapa sawit untuk membayar harga TBS sesuai dengan yang diberlakukan tiap-tiap daerah. Misalnya kalau kemarin petani jual TBS harga Rp1.500 dan harga ketetapan di daerah Rp3.000, maka para pengusaha harus bayar kembali Rp1.500 selisihnya.
"Jika pengusaha tidak bisa, tidak mau, harus diberikan sanksi sesuai dengan Permentan No.1/2018, yang merujuk pada UU Nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan pemberdayaan Petani (Perlintan) dan kebijakan lainnya yang melindungi harga produksi petani," ujar Henry.
Jokowi harus pikirkan kepentingan nasional
Henry mengatakan tahun-tahun terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo seharusnya menjadi waktu untuk menempatkan urusan persawitan ini sebagai kebijakan nasional yang strategis untuk kepentingan nasional, bukan untuk segelintir orang.
Dia menegaskan, bahwa reforma agraria harus dilaksanakan sesuai UUD 1945 pasal 33 dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Izin dan konsesi perkebunan milik korporasi yang luasnya sangat besar itu harus dikoreksi dan ditinjau kembali.
Belum lagi murahnya upah/gaji buruh perkebunan, kerusakan lingkungan, sampai dengan pengemplangan pajak oleh korporasi sawit, kata Henry.
"Perkebunan sawit harus diserahkan pengelolaannya kepada petani, dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya. Korporasi swasta bisa diikutkan di urusan pengolahan industri lanjutan, misalnya untuk pabrik sabun, kosmetik, obatan-obatan, dan usaha-usaha industri lainnya," ujarnya.