Manufaktur Indonesia Masih Lesu, Menperin Singgung Kebijakan Mendag
Selama tiga bulan, manufaktur Indonesia pada zona kontraksi.
Fortune Recap
- PMI manufaktur Indonesia naik tipis ke 49,2 dari 48,9 pada September 2024.
- Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan perlunya dukungan regulasi untuk sektor industri dalam negeri.
- Penurunan pesanan baru terjadi pada beberapa subsektor industri pengolahan, menunjukkan kondisi kontraksi IKI pada September 2024.
Jakarta, FORTUNE - Pada September 2024, Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia meningkat tipis ke 49,2 dari 48,9 dibandingkan dengan Agustus. Angka tersebut menunjukkan kondisi industri masih dalam keadaan kontraksi seperti bulan sebelumnya.
Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwang Kartasasmita, mengatakan industri manufaktur membutuhkan dukungan regulasi yang tepat dari berbagai kementerian/lembaga.
Salah satu bentuk dukungan, kata Agus, adalah merivisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No.8/2024 soal impor, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Gas Bumi untuk Kebutuhan Domestik, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait dengan bea masuk antidumping (BMAD) ubin keramik impor dan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) kain impor.
“Agar bisa kembali ekspansif, sektor industri membutuhkan dukungan regulasi yang tepat dari berbagai kementerian/lembaga, sehingga industri dalam negeri bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri,” kata dia dalam keterangan tertulis, Selasa (1/10).
Bila diamati lebih mendalam, penurunan pesanan baru yang muncul sebagai hasil survei PMI Manufaktur Indonesia pada September 2024 juga ditunjukkan oleh Indeks Kepercayaan Industri (IKI) edisi September 2024 yang baru dirilis pada Senin (30/9). Penurunan pesanan baru terjadi pada subsektor industri pengolahan lainnya dengan IKI mengalami kontraksi. Subsektor tersebut mengalami penurunan pesanan, baik di luar negeri maupun dalam negeri.
Subsektor industri lain yang juga mengalami kontraksi IKI pada pesanan baru adalah industri pengolahan tembakau, tekstil, pakaian jadi, kayu, kertas, bahan kimia, komputer dan elektronik, serta jasa reparasi. Sembilan dari 23 subsektor industri pengolahan mengalami kontraksi IKI pada variabel pesanan baru pada September lalu.
Perlu adanya pengendalian impor
Agus kembali menegaskan bahwa industri manufaktur Indonesia perlu disuntik kebijakan pengendalian barang impor.
“Karenanya, kebijakan-kebijakan untuk mengendalikan masuknya barang ke Indonesia amat diperlukan. Saat ini kita terus berupaya menciptakan demand bagi produk dalam negeri, karena demand-nya ada namun pasar juga dibanjiri dengan produk impor,” ujarnya.
Perekonomian dunia hingga akhir triwulan III-2024 ini memang masih mengalami perlambatan. Namun begitu, bila melihat beberapa negara sejawat, PMI manufakturnya menunjukkan kondisi industri yang ekspansi, meskipun mereka mengalami kondisi pasar global yang sama dengan Indonesia.
Negara-negara yang masih berada pada level ekspansi, misalnya Filipina (53,7), India (56,7), dan Thailand meskipun sudah di ambang batas (50,4).