Penyakit Akibat Polusi Udara Bebani BPJS Kesehatan Hingga Rp10 Triliun
Tiga penyakit pernapasan jadi kontributor utama bebani BPJS.
Jakarta, FORTUNE – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan polusi udara berkontribusi besar terhadap enam besar penyakit gangguan pernapasan di Indonesia, yaitu pneumonia (infeksi paru), infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma, tuberkulosis, kanker paru, dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK).
Beban BPJS Kesehatan disebabkan enam penyakit tersebut, kata dia, mencapai Rp10 triliun pada 2022, dan menunjukkan tren peningkatan pada tahun ini.
“Memang perlu kita sampaikan di sini. Yang top tiga-nya itu adalah infeksi paru atau pneumonia, infeksi saluran pernapasan yang di atas, kemudian asma. Ini totalnya sekitar Rp8 triliun dari Rp10 triliun yang tadi yang enam,” kata dia usai mengikuti rapat terbatas (ratas) yang membahas mengenai peningkatan kualitas udara di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek), yang dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (28/08).
Terkait dampak polusi di sektor kesehatan, kata Menkes, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberikan pedoman untuk melakukan pemantauan terhadap lima komponen di udara. Lima komponen tersebut terdiri dari tiga komponen bersifat gas yaitu nitrogen, karbon, dan sulfur serta dua komponen partikulat atau particulate matter yaitu PM 10 dan PM 2,5.
“Yang bahaya di kesehatan adalah yang 2,5. Kenapa? Dia bisa masuk sampai pembuluh alveoli di paru. Itu yang menyebabkan kenapa pneumonia itu terjadi. Itu sebabnya kalau di kesehatan memang kita melihatnya di PM 2,5 karena ini yang bisa masuk sampai dalam kemudian menyebabkan pneumonia yang memang di BPJS ini paling besar,” ujar Budi.
Menyesuaikan standar kualitas udara yang terkini
Budi mengatakan Presiden Jokowi meminta pihaknya dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk menyesuaikan standar kualitas udara yang terkini dan telah diperketat oleh WHO.
“Ada guidance lagi WHO mengenai standar-standar dari polusi udara yang harus dipenuhi untuk menjaga level kesehatan masyarakat,” ujar Budi.
Untuk memantau kualitas udara, kata Budi, pihaknya telah melengkapi Puskesmas di Jabodetabek dengan alat pemantauan yang dapat mendeteksi kadar PM 2,5 secara real time.
“Kita di puskesmas ada alat-alat monitoring yang kita bagi sebagai sanitarian kit. Biasanya dikasih tuh di seluruh Puskesmas, tapi itu lebih ke indoor measurement sebenarnya. Bisa juga dipakai outdoor, tapi tidak terus-menerus seperti yang tadi disampaikan oleh Ibu Menteri KLHK untuk mengetahui komponen-komponen kesehatan udara, tanah, dan air,” kata Budi.
Mendorong penggunaan masker untuk pencegahan
Budi menyatakan untuk menurunkan risiko dan dampak kesehatan dari polusi udara, pihaknya akan memberikan edukasi mengenai bahaya polusi udara bagi kesehatan.
Selain itu, Kementerian Kesehatan juga mendorong penggunaan masker sebagai upaya preventif atau pencegahan jika polusi udara terpantau tinggi berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Menurut Budi, masker yang disarankan memiliki spesifikasi tertentu yang memiliki kerekatan untuk menahan partikulat.
“Maskernya mesti yang KF 94 atau KN 95 minimum, yang memiliki kerengketan untuk menahan particulate matters 2,5 karena yang bahaya itu yang 2,5 dia masuk bisa masuk paru, dia masuk bisa masuk pembuluh darah paru karena saking kecilnya. Jadi, perlu masker yang kelasnya KF 94 atau KN 95. Itu yang untuk pencegahannya,” ujarnya.
Kemudian, menurut Budi, Kementerian Kesehatan juga akan melakukan edukasi kepada dokter-dokter di Puskesmas dan rumah sakit di Jabodetabek dalam hal langkah-langkah penanganan penyakit pernapasan. Budi pun berharap apabila masyarakat harus dirawat karena penyakit tersebut, masyarakat bisa mendapatkan penanganan dan diagnosis yang sama.