Muhammadiyah Diminta Tolak Izin Tambang, Bahlil: Berarti Tidak Butuh
Perbedaan pendapat antara pemerintah dan masyarakat lumrah.
Fortune Recap
- Bahlil menganggap penolakan tersebut biasa dan dapat diselesaikan dengan komunikasi yang baik.
- Menurutnya, perbedaan pendapat adalah hal lumrah.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Investasi/ Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, merespons tanggapan bekas Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin, yang meminta PP Muhammadiyah menolak pembagian izin usaha pertambangan (IUP) yang ditawarkan oleh pemerintah.
Menurut Bahlil, perbedaan pendapatan antara pemerintah dan masyarakat merupakan hal lumrah, terkhusus dalam ini menyangkut implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No.25/2024 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No.96/2021 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara yang baru diteken Presiden Joko Widodo.
"Sudah barang tentu ada yang menolak. Apa boleh buat, berarti tidak membutuhkan. Kita memberikan ke yang membutuhkan dengan syarat-syarat ketat, untuk digunakan untuk mengurus umat,” katanya dalam konferensi pers Redistribusi IUP kepada Masyarakat untuk Pengelolaan SDA yang Inklusif dan Berkeadilan, Jumat (7/6).
Bahlil menganggap penolakan tersebut merupakan hal yang biasa. Menurutnya, hal ini dapat diselesaikan dengan komunikasi yang baik.
“Mungkin ada pertanyaan belum terjelaskan dengan baik. Kami akan jelaskan. Pak Din juga adalah senior saya, abang-abang kami semua, guru bangsa. Bisa kalau dijelaskan baik-baik,” kata Bahlil.
Dia menjelaskan ada persyaratan ketat yang harus dipenuhi oleh organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan yang berminat untuk mendapat IUP.
Pernyataan penolakan Din Syamsuddin
Sebelumnya, Din Syamsuddin dalam sebuah keterangan tertulis mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran pemberian IUP dari Joko Widodo.
Menurutnya, IUP kerap disalahgunakan oleh oknum pejabat negara yang diberi wewenang mengelola tambang, mulai dari bupati, gubernur, hingga pejabat kementerian sebagai sumber penghasilan, atau bahkan dikorupsi. Dia khawatir hal serupa dapat terjadi bila Ormas juga mengelola wilayah tambang.
"Jika Ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut, maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi," ujar Din, Kamis (6/6).
Meski demikian, Din berusaha untuk berbaik sangka bahwa pemberian konsesi tambang untuk Ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah merupakan bentuk perhatian pemerintah.
“Namun, hal demikian sangat terlambat, dan motifnya terkesan untuk mengambil hati. Maka, suuzon (buruk sangka) tak terhindarkan,” katanya.
Menurut dia, pemberian konsesi tambang kepada NU dan Muhammadiyah tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua Ormas Islam itu.