Target PSR 540 Ribu Ha Kebun Sawit Sampai 2024, Tapi Realisasi Rendah
Realisasi PSR baru 200.000 hektare.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkap program peremajaan sawit rakyat (PSR) ditargetkan 540.000 hektare (ha) hingga 2024. Namun, realisasi PSR hingga 2022 baru 200.000 hektare padahal program ini telah berjalan sejak 2016.
“Dalam rangka mempercepat pencapaian target PSR, pemerintah membuka akses peremajaan sawit melalui skema kemitraan...antara pekebun dan perusahaan mitra,” kata dia dalam keterangan pers, Rabu (8/3).
Untuk meningkatkan realisasi, menurut Airlangga, terdapat beberapa syarat utama yang harus dipenuhi.
Pertama, benih yang digunakan harus tersertifikasi. Penggunaan bibit unggul akan meningkatkan produktivitas kelapa sawit tanpa harus membuka kembali lahan baru.
Selanjutnya, peremajaan terjadi dalam klaster untuk pekebun yang telah berada dalam kelembagaan. Dengan keberadaan komitmen off-taker untuk membina pekebun sawit untuk memastikan pengelolaan kebun sesuai prinsip Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), maka kebun-kebun rakyat bisa mendapat sertifikat ISPO juga.
“Dengan syarat tersebut, tentu kita mendorong bahwa ketersediaan bibit harus bisa disiapkan secara baik dan juga kerja sama off-taker tentu harus didorong agar pembina pekebun dapat mendorong program replanting ini termasuk membuat program ini bankable,” kata Airlangga.
Penggunaan bibit unggul dan penerapan Good Agriculture Practice (GAP) akan meningkatkan produksi kelapa sawit tanpa harus melakukan pembukaan lahan baru, sehingga dapat meningkatkan pendapatan pekebun rakyat secara optimal.
Sebab rendahnya realisasi PSR
Menanggapi rendahnya realisasi cakupan PSR, Kepala bidang Organisasi dan Anggota Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin Sabar, mengatakan rumitnya persyaratan administrasi menyulitkan petani untuk menjalankan program tersebut.
Akibatnya, kata Sabar, ada sejumlah wilayah sentra sawit di Indonesia yang sama sekali tidak mendapatkan subsidi PSR pada 2022.
“Banyak petani sawit yang tidak mengetahui program PSR ini. Rumitnya administrasi pun jadi keengganan dari para petani untuk mengajukan PSR,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, Kamis (9/3)
Sementara, dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang tersedia untuk subsidi program PSR mencapai Rp5,4 triliun per tahun. Anggaran tersebut untuk program PSR seluas 180.000 hektare, dan per hektare mendapat Rp30 juta. Dana yang terpakai hanya Rp500 miliar per tahun.
Aturan tersebut, kata dia, dibuat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian ATR/BPN. Kedua kementerian itu, misalnya, meminta petani untuk melengkapi sejumlah kelengkapan surat hingga mendaftar secara daring atau online.
Rumitnya proses tersebut membuat banyak petani kesulitan sehingga proses pengajuan subsidi PSR ini menjadi sangat lama. Bahkan, menurutnya, pengajuan petani untuk subsidi program PSR dapat memakan waktu hingga 6 bulan.
“Masukan program PSR harus melihat dari prakondisi sampai kesiapan PSR. Jadi, harus ada pendampingan khusus oleh pemerintah dalam membantu kesiapan pemberkasan para petani,” ujarnya.
Sabar meminta kepada pemerintah untuk meningkatkan anggaran PSR setiap hektare menjadi Rp60 juta dari sebelumnya Rp30 juta. Dana perlu dinaikkan karena harga pupuk dan biaya buruh untuk menjalankan program PSR meningkat.
“Dulu tahun 2020 sekitar Rp300.000 per sak sekarang sudah Rp1 juta per sak. Kemudian, beberapa material seperti upah harian PSR juga meningkat,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Pertanian menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 19 Tahun 2023 sebagai pembaruan atas Permentan Nomor 3 tahun 2022 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.